Rabu, 20 Agustus 2014

ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI DENGAN PENDEKATAN FEMINISME

ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI DENGAN PENDEKATAN FEMINISME Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh sistem kasta dan budaya patriarki, terutama terhadap kaum perempuan yang ada di agama Hindu dalam masyarakat Bali. Permasalahan tersebut, salah satunya terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Metode yang akan digunakan dalam menganalisis novel ini adalah teori pendekatan feminisme. Novel ini menceritakan mengenai posisi perempuan yang merasakan ketidakadilan atas sistem kasta dan adat-istiadat yang sangat kental dalam agama Hindu di masyarakat Bali. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini merupakan sosok-sosok yang memiliki mimpi sehingga mereka berani bertindak unuk mewujudkan impian-impian mereka, salah satunya dengan melakukan pemberontakan terhadap sistem-sistem yang telah menindas kaum perempuan. Di balik impian-impian tersebut, terdapat konsekuensi atau akibat-akibat yang tidak terduga yang harus diterima oleh masing-masing tokoh dalam novel ini. Kata Kunci: Adat-Istiadat, Bali, Feminisme, Hindu, Kasta, Patriarki. 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang sastrawan dengan kehidupan secara faktual. Karya sastra jelas dihasilkan oleh seorang penulis, tetapi penulis itu sendiri adalah wakil masyarakat. Saat penulis menghasilkan suatu karya sastra, maka karya sastra itu merupakan cerminan masyarakat. Salah satu hasil karya sastra yang dibuat oleh masyarakat adalah novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dalam pembuatan suatu karya sastra berupa novel, terdapat unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur intrinsik terdiri atas tema, alur (plot), latar (setting), tokoh, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik terdiri atas sosial, budaya, agama, dan sebagainya. Hasil karya sastra berupa novel yang akan di analisis adalah hasil karya seorang sastrawan perempuan bernama Oka Rusmini dengan novelnya yang berjudul Tarian Bumi. Oka rusmini adalah seorang penulis yang sudah beberapa kali memenangkan sayembara penulisan cerpen dan roman, juga dikenal sebagai penyair. Ia dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967 dari keluarga bangsawan Bali, namun tulisannya justru banyak yang mempertanyakan kondisi dan tata sosial berdasarkan kasta. Karya-karyanya banyak memperoleh penghargaan. Salah satunya penghargaan yang diberikan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia sebagai “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” atas novelnya, Tarian Bumi. Banyak sekali hal-hal yang menarik dalam novel ini. Pertama, novel ini ditulis oleh seorang penulis perempuan. Kedua, tema yang digunakan mengenai posisi perempuan dalam masyarakat Hindu di Bali. Ketiga, sangat sedikit jumlah penulis yang mengangkat tema mengenai kultur Bali tersebut, apalagi ditulis oleh seorang penulis perempuan. Oleh karena itu, saya tertarik unutk melakukan penelitian terhadap novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Di dalam novel ini menceritakan mengenai permasalahan kasta, budaya patriarki, dan adat-istiadat yang mendukung perilaku laki-laki dalam merugikan posisi perempuan. Sosok-sosok perempuan dalam novel ini selalu merasakan penindasan dan sakit hati atas perilaku laki-laki yang senantiasa menganggap perempuan hanya sekadar pemuas nafsu birahi mereka. Perbuatan laki-laki itu juga didukung oleh sistem kasta, budaya patriarki, dan adat-istiadat yang sangat melekat dalam tubuh masyarakatnya. Sehingga, mereka dapat melakukan penindasan-penindasan terhadap kaum perempuan secara leluasa tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah. Rasa ketidakadilan dan sakit hati yang selalu dirasakan oleh kaum perempuan tersebut, menjadi landasan yang menguatkan saya untuk menggunakan pendekatan feminisme dalam menganalisis novel ini. 1.1 Landasan Teori Pendekatan feminisme mulai muncul pada abad ke 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Menurut Teeuw (naskah belum diterbitkan), beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia Barat tersebut, sebagai berikut: 1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki. 2. Radikalisasi politik,khususnya sebagai akibat perang Vietnam. 3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya. 4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan. 5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan. 6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturturalisme. 7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology. Marx is orthodoks, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan. Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Dalam masyarakat patriarkhat, anak laki-laki merupakan harapan, maka secara langsung akan mengkondisikan superioritas laki-laki. Kodrat perempuan dalam mengandung dan melahirkan, secara kultural diharuskan untuk memeliharanya, yang pada gilirannya akan mengurangi sifat agresif, sebaliknya menumbuhkan sifat pasif, lemah lembut, dan sebagainya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa perempuan dibedakan secara kultural, bukan hakikat. Perbedaan sebagai akibat sistem kebudayaan, ini tampak jelas dengan adanya bahasa sebab bahasa merupakan kebudayaan, bukan kodrat. Kaum perempuan melalui gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam novel ini, akan menggunakan pendekatan feminisme untuk meneliti posisi perempuan dalam menghadapi sistem kasta dan adat-istiadat yang sudah melekat dalam masyarakat tempat tinggalnya. Pendekatan tersebut dipilih untuk mengetahui perbedaan sikap dan pola pikir antara tokoh-tokoh perempuan mengenai impian-impian yang dimiliki dan cara mewujudkannya yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak terlepas dari pengaruh luar yang ada di sekitar tokoh., seperti adat-istiadat, sistem kasta, dan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat di setiap masyarakat tempat tinggalnya. Pengaruh-pengaruh itulah yang menjadikan salah satu penghalang tokoh-tokoh perempuan untuk mendapatkan kebahagiaan selama hidupnya. 2 Analisis Novel 2.1 Sistem Kasta dan Adat Istiadat di Bali Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikategorikan darah biru. Kasta dapat menjadi salah satu faktor terjadinya sebuah penindasan terhadap kaum perempuan. Kasta, oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih rendah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang. Seorang perempuan berkasta tinggi apabila menikah dengan seorang laki-laki berkasta rendah, akan menjadi aib bagi keluarga sudra dan akan dikucilkan oleh keluarga griya. Sebaliknya, perempuan berkasta rendah yang menikah dengan lelaki yang berkasta tinggi harus berusaha untuk membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan yang ada dalam keluarga griya. Seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya, harus berganti nama menjadi “Jero”. Perempuan tersebut juga harus berprilaku seperti bangsawan tulen dalam keluarganya. Sedangkan dalam keluarga besar suaminya, harus berbahasa halus dengan orang-orang griya. Ia tidak boleh minum susu satu gelas dengan anak kandungnya. Tidak boleh memberikan makanan sisa makanannya pada orang-orang griya, termasuk anak yang dilahirkannya. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini memiliki latar belakang yang sangat dipengaruhi oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sudah melekat dalam tubuh masyarakatnya. Adat-istiadat yang kental juga memiliki pengaruh besar terhadap para tokoh dalam menjalani kehidupannya. Konsekuensi dari mimpi-mimpi yang di ambil para tokoh perempuan merupakan salah satu faktor yang disebabkan oleh sistem dan adat tersebut. 2.1.1 Tokoh Utama Bernama Ida Ayu Telaga Pidada Tokoh utama dalam novel Tarian Bumi bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Terdapat gelar “Ida Ayu” di depan namanya, karena Telaga terlahir sebagai seorang perempuan brahmana walaupun dilahirkan dari rahim seorang perempuan sudra. Kisah hidupnya banyak dipengaruhi oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sangat melekat dalam darah masyarakat tempat tinggalnya. Dalam proses pembentukannya sebagai seorang perempuan, terdapat tiga sosok perempuan yang sangat berperan penting, di antaranya adalah Ni Luh Sekar (Ibu Telaga), Ida Ayu Sagra Pidada (Nenek Telaga), dan Ni Luh Kambren (Guru Tari Telaga). Telaga sebagai tokoh utama digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik, kaya, dan baik hati. Tokoh perempuan bernama Telaga ini, memiliki suatu keberanian yang luar biasa untuk menggapai cintanya. Dia berani memberontak dan melawan adat yang ada di lingkungannya dengan menikahi lelaki dari kasta lebih rendah. Keputusan yang Telaga pilih, membuatnya harus melepaskan segala hal yang dimilikinya. Telaga harus merelakan nama Ida Ayu yang telah diberikan hidup padanya untuk dilepaskan dan berganti menjadi seorang perempuan sudra yang sesungguhnya. Kemampuan Telaga dalam menjalani kehidupannya setelah berubah menjadi seorang perempuan sudra yang sesungguhnya, membuatnya menjadi perempuan yang tegar dan kuat. Seperti dalam kutipan berikut. “... Telaga juga berani kawin dengan Wayan. Dan sampai hari ini dia tetap bertahan.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 203) Telaga hanya bisa berdiam diri karena menyadari bahwa inilah konsekuensi yang telah dia pilih. 2.1.2 Tokoh Bernama Ni Luh sekar Kehidupan Sekar tidak pernah terlepas dari butir-butir penderitaan. Lingkungan, sistem, dan adat-istiadat yang ada di masyarakat sekitarnya turut memengaruhi Sekar dalam menjalani kehidupan yang dilalui. Sekar dilahirkan dari keluarga sudra yang miskin dan dikucilkan oleh warga desa tempat tinggalnya. Hal tersebut terjadi, karena ayahnya yang telah pergi dari rumah merupakan bekas anggota PKI yang konon-menurut para warga desa-ikut dalam pembantaian tempat tinggalnya. Sekar yang menginginkan terlepas dari belenggu kemiskinan dan penghinaan warga desanya, membuatnya berambisi untuk menjadi seorang pragina tari dan menjadi seorang perempuan brahmana. Sekar adalah seorang perempuan keras kepala dan egois. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “perempuan itu selalu tidak pernah mengalah. Apa pun yang di anggapnya benar harus jadi kebenaran juga untuk orang lain.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 154-155) Tak ada satu pun orang yang mampu menghalangi keinginannya. Segala usaha yang dilakukan untuk menggapai impian-impiannya tersebut, membuatnya harus merelakan kebahagiaan yang dimiliki terlepas dan digantikan dengan penderitaan yang sangat berat. Sekar harus berganti nama menjadi “Jero Kenanga” dan harus melepaskan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Dia juga harus meninggalkan Luh Dalem (Ibu sekar), dan Luh Kenten (Sahabat Sekar). Tokoh-tokoh perempuan dalam kehidupan Sekar merasakan penderitaan yang serupa dengan yang dialaminya. Luh Dalem-Ibu Sekar-mengalami kebutaan akibat dirampok dan diperkosa. Sedangkan Luh Kenten-Sahabat Sekar-bertekad untuk tidak menikah karena rasa cintanya yang teramat besar terhadap Sekar yang salah satunya disebabkan oleh rasa bencinya terhadap laki-laki. Tokoh-tokoh ini turut memengaruhi Sekar dalam menjalani kehidupannya. 2.1.3 Tokoh Bernama Ida Ayu Sagra Pidada Sagra merupakan perempuan brahmana yang sangat memegang teguh nilai-nilai kebangsawanan dalam keluarganya. Seperti terlihat pada kutipan berikut. “... tuniang-mu adalah perempuan paling lugu. Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga sangat mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 23) Sagra sangat tidak bisa menerima apabila ada pernikahan antara laki-laki brahmana dengan perempuan sudra. Oleh karena itu, dia sangat kecewa saat mengetahui bahwa anaknya-Ida Bagus Ngurah Pidada-menikah dengan perempuan sudra yaitu Ni Luh Sekar. Terutama ketika dia mengetahui bahwa suami yang sangat dicintai namun mengacuhkannya berselingkuh dengan perempuan sudra. Penderitaan yang dirasakan Sagra tidak terlepas dari akibat rasa cinta yang teramat dalam terhadap suaminya. Tingkah laku suaminya-Ida Bagus Tugur-yang selalu mengacuhkan Sagra, membuatnya semakin terluka dan tersiksa. Terlebih lagi kebiasaan-kebiasaan buruk anak laki-lakinya yang selalu membuatnya kecewa dan pada akhirnya mati di tempat pelacuran dalam keadaan telanjang dengan tubuh penuh tusukan. 2.1.4 Tokoh Bernama Ni Luh Kambren Kambren turut berperan dalam pembentukan Telaga sebagai seorang perempuan. Ia adalah guru tari Telaga yang banyak memberikan pelajaran dan pemahaman mengenai tari terhadap Telaga. Caranya untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap tari adalah dengan tidak menikah sampai seumur hidupnya. Seperti terlihat pada kutipan “Hidupku hanya untuk menari!” merupakan kata-kata yang selalu diungkapkan Kambren kepada Telaga. Tindakan Kambren untuk tidak menikah adalah salah satu tindakan berani yang telah dia pilih. Kambren telah siap atas segala konsekuensi yang akan terjadi pada dirinya. Tokoh perempuan yang satu ini berani menyerahkan seluruh hidup dan waktunya hanya untuk menari. Inilah mimpi yang Kambren pilih, yang baginya dapat memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Walaupun pada akhirnya dia harus hidup di rumah yang sangat kecil dan kumuh. Keputusan ini tidak membuatnya menyesal sampai ajal menjemputnya. KESIMPULAN Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini memiliki mimpi-mimpi dalam kehidupannya. Novel ini menceritakan mengenai perempuan-perempuan yang bermimpi dan berkehendak. Dalam meraih impian-impiannya, mereka berani melakukan segala hal. Walaupun akibat dari tindakannya, mereka harus menanggung konsekuensi yang sangat berat. Salah satu konsekuensi itu, dipengaruhi pula oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sangat kental dalam masyarakat tempat tinggalnya. Sistem kasta yang sudah sangat melekat di agama Hindu dalam masyarakat Bali, membuat posisi perempuan terasa sulit dan selalu dirugikan. Diperkuat dengan budaya patriarki yang sudah mengakar dan bercampur dengan sistem kasta tersebut, sehingga semakin mempersulit posisi perempuan dalam menjalankan kehidupannya. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini selalu merasakan ketidakadilan atas sistem kasta yang ada di agama Hindu dalam masyarakat Bali. Perempuan berkasta tinggi, tidak boleh menikah dengan laki-laki dari kasta rendah. Hal tersebut akan menjadi aib bagi keluarga sudra dan akan dikucilkan oleh keluarga griya. Seperti yang terjadi pada tokoh utama dalam novel ini. Demi cintanya yag teramat besar kepada seorang laki-laki yang berasal dari kasta sudra, membuatnya harus memberontak dengan segala peraturan yang ada di keluarganya. Demi impian dan pilihannya, Telaga dikucilkan oleh keluarga griya dan dianggap membawa kesialan bagi keluarga sudra. Tokoh Sekar dalam novel ini harus menerima akibat dari impian-impiannya sendiri. Demi ambisinya untuk melepaskan diri dari himpitan kemiskinan dan menaikkan derajatnya, Sekar harus melepaskan Luh Dalem (Ibu Sekar) dan Luh Kenten (Sahabat Sekar). Sekar juga harus rela mengganti namanya menjadi Jero Kenanga. Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada dalam novel ini rela hidup menderita demi suami yang sangat dicintainya. Dalam novel ini, terdapat pula tokoh Luh Kambren sebagai guru tari Telaga. Kambren memiliki tindakan yang berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang diceritakan dalam novel ini. Kambren berani mengambil resiko untuk tidak menikah sampai ajal menjemputnya, karena rasa cintanya yang sangat besar terhadap tari. Tokoh laki-laki dalam novel ini selalu mendapatkan peran yang buruk. Seperti pada tokoh ayah Sekar, yang konon ikut berperan dalam melakukan pemberontakan di tempat tinggalnya. Tokoh Ida Bagus Tugur, sebagai kakek Telaga, melupakan istri dan anaknya. Tokoh Ida Bagus Ngurah Pidada, sebagai suami Sekar, mati di tempat pelacuran dalam keadaan telanjang dengan tubuh di tusuk-tusuk oleh pisau. Tokoh Putu Sarma, sebagai suami Sadri, terus menggoda Telaga setelah Wayan meninggal. Hanya tokoh Wayan yang memiliki peran yang baik. Akan tetapi, dia tidak mempunyai waktu yang lama untuk membahagiakan istrinya. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Sumber Jurnal: Jurnal Litera, Edisi 4, 2009. Sumber Internet: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18254/4/Chapter%20II.pdf http://indonesiatera.com/Profil/Penulis/OKA-RUSMINI/menu-id-1.html Rosemarie Tong. 1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction. USA : Westview Press Rosemarie.1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction.USA:Westview Press ^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tong http://akademikaunud.wordpress.com/2009/08/28/menelisik-perkawinan-antara-cinta-dan-kasta/

ANALISIS KESALAHAN PENULISAN PARTIKEL PUN PADA HARIAN BANTEN POS EDISI JUNI 2012

A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa merupakan salah satu cara yang digunakan manusia untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Komunikasi itu dilakukan untuk memenuhi keberadaan manusia sebagai makhluk sosial. Selain itu, bahasa dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan diri. Oleh karena itu, keberadaan bahasa sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup, dalam hal ini manusia, di dunia. Melihat pentingnya peran bahasa sebagai penyandang kehidupan makhluk hidup itulah yang mengharuskan kita untuk mampu menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, pemakai bahasa juga dituntut untuk dapat menggunakan dan melestarikan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Kegiatan berbahasa tidak hanya menggunakan bahasa lisan, tetapi juga dapat menggunakan bahasa tulis. Baik bahasa lisan maupun bahasa tulis harus memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan yang telah ditetapkan. Hal tersebut dilakukan agar pemakai bahasa dapat menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan jalur kebahasaan tanpa adanya penyimpangan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan. Terdapat perbedaan dalam penggunaan bahasa lisan dan bahasa tulis. Ketika pemakai bahasa menggunakan bahasa lisan dalam berkomunikasi, tanda baca dan ejaan tidak menjadi unsur utama yang harus diperhatikan oleh pemakai bahasa lisan. Berbeda halnya apabila kegiatan berbahasa dilakukan melalui bahasa tulis. Ketika seseorang menggunakan bahasa tulis dalam berkomunikasi, maka tanda baca dan ejaan menjadi unsur utama yang harus diperhatikan di samping tata bahasa dan kaidah-kaidah kebahasaan lainnya. Unsur inilah yang sangat sulit dilakukan dengan benar oleh pemakai bahasa tulis. Salah satu media yang biasa digunakan pemakai bahasa untuk menuangkan kegiatan berbahasa melalui tulisan dapat ditemukan pada media cetak berupa koran, majalah, dan lain-lain. Media cetak merupakan salah satu sumber informasi yang digunakan manusia untuk mengetahui situasi yang sedang terjadi di sekitarnya. Selain berfungsi sebagai sumber informasi, melalui media cetak juga masyarakat dapat mempelajari penulisan yang baik dan benar. Oleh karena itu, media cetak dituntut untuk memaparkan segala informasi dengan menggunakan bahasa yang baik agar dapat di mengerti oleh masyarakat dari segala kalangan dan dapat dijadikan sebagai panduan dalam tata cara penulisan yang benar. Peran media cetak untuk dapat menampilkan wacana berita yang menarik dan harus sesuai dengan kaidah kebahasaan tidaklah mudah. Unsur-unsur tanda baca dan ejaan yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi sorotan utama selain tata bahasa, kosakata, isi, dan unsur-unsur kebahasaan lainnya. Terdapat beberapa media cetak berupa koran yang dalam penulisannya banyak sekali ditemukan kesalahan. Seperti pada penulisan partikel penegas berupa partikel pun. Banyak sekali keluhan dari masyarakat yang bingung dalam membedakan penulisan partikel pun apakah harus serangkai atau terpisah. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat sebisa mungkin menghindari penggunaan partikel pun dalam kegiatan menulis agar terhindar dari kesalahan penulisan. Kesalahan dalam penulisan tersebut terjadi karena kurangnya wawasan masyarakat mengenai kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Masyarakat tidak mengetahui aturan penulisan partikel pun yang benar. Padahal, wawasan mengenai penggunaan dan penulisan partikel pun-di samping unsur lainnya-sangat diperlukan. Wawasan inilah yang akan menjadi langkah awal bagi pemakai bahasa tulis untuk menghasilkan suatu tulisan yang menarik dan sesuai dengan kaidah kebahasaan yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dibutuhkan suatu penelitian untuk menghentikan penyimpangan terhadap kaidah bahasa tulis agar tidak merambat ke generasi selanjutnya. Salah satunya dengan melakukan penelitian terhadap kesalahan penulisan partikel pun pada media cetak khususnya pada harian Banten Pos edisi Juni 2012. Hal itu dilakukan guna menghentikan terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan, khususnya dalam dunia penulisan. B. Fokus Penelitian Untuk mencegah terjadinya perluasan permasalahan yang akan diteliti, maka peneliti menetapkan fokus penelitian dalam usaha membatasi penelitian ini mengenai analisis kesalahan penulisan partikel pun pada harian Banten Pos edisi Juni 2012. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan sebelumnya yang terdapat pada latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka pertanyaan dari penelitian ini adalah “Kesalahan penulisan partikel pun apa sajakah yang terdapat pada harian Banten Pos edisi Juni 2012?” D. Tujuan Penelitian Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesalahan penulisan partikel pun pada harian Banten Pos edisi Juni 2012. E. Kajian Teori 1. Partikel atau Kata Tugas Menurut Finoza (2010: 99), makna partikel adalah ‘unsur-unsur kecil dari suatu benda’. Analog dengan makna tersebut, unsur kecil dalam bahasa, kecuali yang jelas satuan bentuknya, disebut partikel. Menurut Alwi, dkk., dalam Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya: Pengantar Memahami Linguistik (2004: 200), kata tugas memiliki beberapa ciri, yaitu: (i) hanya memiliki arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal, (ii) hampir semuanya tidak dapat menjadi dasar untuk membentuk kata lain, dan (iii) merupakan kelas kata tertutup; sedangkan menurut Kentjono dalam Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya: Pengantar Memahami Linguistik (2004: 200), ciri kata tugas, yaitu: (i) jumlahnya terbatas, (ii) keanggotaannya boleh dikatakan tertutup, (iii) biasanya tidak mengalami proses morfologis, (iv) biasanya tidak memiliki makna leksikal, tetapi mempunyai makna gramatikal, (v) ada dalam macam wacana apa saja-puisi, pidato resmi, undang-undang, percakapan sehari-hari, nyanyian, dan sebagainya, dan (vi) dikuasai oleh pemakai bahasa dengan cara menghafal. Suherlan dan Odien R (2004: 200) membagi kata tugas berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat menjadi lima kelompok, yaitu: (i) preposisi; (ii) konjungsi (konjungtor); (iii) interjeksi (iv) artikula; (v) partikel penegas. Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada hal-hal yang berkaitan dengan partikel penegas berupa partikel pun. Sebelum menjelaskan partikel pun, terlebih dahulu peneliti akan memaparkan pendapat dari para ahli mengenai partikel penegas. 2. Partikel Penegas Kategori partikel penegas meliputi kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yang diiringinya (Alwi, dkk., 1998: 307). Berkaitan dengan kata tugas, partikel yang dibicarakan di sini adalah partikel yang berfungsi membentuk kalimat tanya (interogatif), yaitu –kah dan –tah ditambah dengan –lah yang dipakai dalam kalimat perintah (imperatif) dan kalimat pernyataan (deklaratif), serta pun yang hanya dipakai dalam kalimat pernyataan (Finoza, 2010: 99). Tiga yang pertama berupa klitika, sedangkan yang keempat tidak (Alwi, dkk., 1998: 307). a. Partikel –kah Partikel –kah yang berbentuk klitika dan bersifat manasuka dapat menegaskan kalimat interogatif (Alwi, dkk., 1998: 307). Berikut ini adalah kaidah pemakaiannya. 1. Jika dipakai dalam kalimat deklaratif, -kah mengubah kalimat tersebut menjadi kalimat interogatif. Contoh: (71) Diakah yang akan datang? (Bandingkan: Dia yang akan datang.) (72) Hari inikah pekerjaan itu harus selesai? (Bandingkan: Hari ini pekerjaan itu harus selesai.) 2. Jika dalam kalimat interogatif sudah ada kata tanya seperti apa, di mana, dan bagaimana, maka –kah bersifat manasuka. Pemakaian –kah menjadikan kalimatnya lebih formal dan sedikit lebih halus. Contoh: (73) a. Apa ayahmu sudah datang? b. Apakah ayahmu sudah datang? (74) a. Bagaimana penyelesaian soal ini jadinya? b. Bagaimanakah penyelesaian soal ini jadinya? (75) a. Ke mana anak-anak pergi? b. Ke manakah anak-anak pergi? 3. Jika dalam kalimat tidak ada kata tanya tetapi intonasinya adalah intonasi interogatif, maka –kah akan memperjelas kalimat itu sebagai kalimat interogatif. Kadang-kadang urutan katanya dibalik. Contoh: (76) a. Akan datang dia nanti malam? b. Akan datangkah dia nanti malam? (77) a. Harus aku yang mulai dahulu? b. Haruskah aku yang mulai dahulu? (78) a. Tidak dapat dia mengurus soal sekecil itu? b. Tidak dapatkah dia mengurus soal sekecil itu? b. Partikel –lah Partikel –lah, yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat imperatif atau kalimat deklaratif (Alwi, dkk., 1998: 308). Berikut ini kaidah pemakaiannya. 1. Dalam kalimat imperatif, -lah dipakai untuk sedikit menghaluskan nada perintahnya. Contoh: (79) Pergilah sekarang, sebelum hujan turun! (80) Bawalah mobil ini ke bengkel besok pagi! (81) Kalau Anda mau, ambillah satu atau dua buah! 2. Dalam kalimat deklaratif, -lah dipakai untuk memberikan ketegasan yang sedikit keras. Contoh: (82) Dari ceritamu, jelaslah kamu yang salah. (83) Ambil berapa sajalah yang kamu perlukan. (84) Inilah gerakan pembaruan. (85) Dialah yang menggugat soal itu. Dari pemakaian partikel –lah pada contoh di atas tampak bahwa partikel itu cenderung dilekatkan pada predikat kalimat. c. Partikel –tah Partikel –tah, yang juga berbentuk klitika, dipakai dalam kalimat interogatif, tetapi si penanya sebenarnya tidak mengharapkan jawaban (Alwi, dkk., 1998: 309). Ia seolah-olah hanya bertanya pada diri sendiri karena keheranan atau kesangsiannya. Partikel –tah banyak dipakai dalam sastra lama, tetapi tidak banyak dipakai lagi sekarang. Contoh: (86) Apatah artinya hidup ini tanpa engkau? (87) Siapatah gerangan orangnya yang mau menolongku? d. Partikel pun Partikel pun hanya dipakai dalam kalimat deklaratif dan dalam bentuk tulisan dipisahkan dari kata di mukanya (Alwi, dkk., 1998: 309). Bentuk pun juga ada dua macam, yaitu sebagai klitika dan sebagai kata (Sukasworo, dkk., 2002: 144). Sebagai klitika, pun ditulis serangkai dengan unsur yang mendahuluinya. Sebagai kata pun ditulis terpisah dari unsur kebahasaan yang mendahuluinya. Kaidah pemakaiannya adalah sebagai berikut. 1. Pun dipakai untuk mengeraskan arti kata yang diiringinya. Contoh: (88) Mereka pun akhirnya setuju dengan usul kami. (89) Yang tidak perlu pun dibelinya juga. (90) Siapa pun yang tidak setuju pasti akan diawasi. Dari pemakaian partikel pun pada contoh di atas tampak bahwa partikel itu cenderung dilekatkan pada subjek kalimat. Perlu diperhatikan bahwa partikel pun pada konjungtor ditulis serangkai; jadi, ejaannya walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun, dan sungguhpun. Bedakan ejaan ini dengan ejaan-ejaan berikut, mereka pun, makan pun, itu pun, ini pun yang partikel pun-nya dipisahkan (Alwi, dkk., 1998: 309). Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2001: 31-32) menambahkan mengenai beberapa kelompok yang lazin dianggap padu dengan partikel pun, yaitu andaipun, ataupun, bagaimanapun, dan kalaupun. Sukasworo, dkk., dalam bukunya yang berjudul Bahasa Indonesia Untaian Gramatika dan Sastra Indonesia Untuk SMU Kelas 1 menambahkan penulisan bentuk pun yang lazim dianggap padu, yaitu betapapun. 2. Dengan arti yang sama seperti di atas, pun sering pula dipakai bersama –lah untuk menandakan perbuatan atau proses mulai berlaku atau terjadi. Contoh: (91) Tidak lama kemudian hujan pun turunlah dengan derasnya. (92) Para demonstran itu pun berbarislah dengan teratur. (93) Para anggota yang menolak pun mulailah berpikir-pikir lagi. Menurut Sartono dalam buku Belajar Efektif Bahasa Indonesia Untuk Siswa SLTP Kelas 1 halaman 155 mengemukakan mengenai fungsi-fungsi partikel pun, yaitu: 1. Sebagai kata penghubung Contoh: Adapun untuk bergabung dengan klub itu hanya untuk meningkatkan prestasi saja. 2. Menguatkan bagian kalimat yang berlawanan Contoh: Sekalipun hujan lebat, permainan tetap berlangsung. 3. Mengandung arti perlawanan Contoh: Diberi suruh pun aku tak sudi bergabung. 4. Berarti ‘juga’ Contoh: Selain tuan rumah, tim tamu pun mendapat dukungan dari penonton. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam menganalisis kesalahan penulisan partikel pun pada harian Banten Pos edisi Juni 2012. Metode kualitatif dipilih karena penelitian ini mengacu pada data-data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari rubrik yang terdapat di harian Banten Pos edisi Juni 2012. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan teori sebagai kerangka dasar dalam melaksanakan penelitiannya. Oleh karena itu, penelitian ini juga disebut sebagai penelitian deskriptif kualitatif. G. Teknik Pengumpulan Data Data-data dikumpulkan melalui teknik dokumentasi. Peneliti memilih dan menemukan masalah terlebih dahulu dari data-data yang akan dijadikan sebagai bahan dalam penelitian. Data tersebut terdapat pada harian Banten Pos edisi Juni 2012. Setelah peneliti berhasil menemukan data-data yang memiliki kesalahan dalam penulisan partikel pun sebagai bahan penelitian, peneliti mengumpulkan data-data berupa kata-kata dan bukan angka-angka, memilah-milah, menyusun, menafsirkan, menjelaskan, dan menganalisis data yang terkumpul secara deskriptif. H. Teknik Analisis Data Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis data menggunakan model deduktif. Peneliti terlebih dahulu menggunakan teori sebagai alat ukur dalam melaksanakan penelitian. Peneliti menganalisis data yang telah terkumpul berdasarkan teori yang digunakan. Data-data tersebut diamati apakah memiliki kesalahan atau tidak. Kesalahan-kesalahan yang terjadi diberikan penjelasan terlebih dahulu dengan mencantumkan data-data yang mengalami kesalahan dan diberikan alternatif penulisan yang benar sesuai dengan teori yang digunakan. I. Sumber Data Penelitian ini menggunakan media cetak berupa koran sebagai sumber data selama berlangsungnya proses penelitian. Sumber data tersebut terdapat pada harian Banten Pos edisi 7 Juni 2012 dan edisi 9 Juni 2012. Peneliti akan memilah-milah dan menemukan kesalahan dalam penulisan partikel pun dari seluruh rubrik berita yang ada pada kedua edisi tersebut. J. Hasil Penelitian Setelah melalui berbagai prosedur di atas, pada bagian ini peneliti akan memaparkan mengenai hasil penelitian. Hasil penelitian ini merupakan puncak dari keseluruhan prosedur yang telah dilalui. Dari keseluruhan rubrik berita yang memiliki kesalahan dalam penulisan partikel pun terhitung berjumlah duapuluh satu, yakni delapan kesalahan pada edisi 7 juni 2012 dan tiga belas kesalahan pada edisi 9 Juni 2012. Pada edisi 7 Juni 2012, kesalahan penulisan partikel pun terletak pada rubrik berita yang masing-masing berjudul Azzuri Tanpa Target (hlm. 1), Jessica Iskandar Digaet Pejabat (hlm. 1), DPRD Didesak Tindaklanjut Temuan BPK (hlm. 2), Banten Incar Runner Up Pada Popwip Regional III (hlm. 4), Penahanan Siswa SMPN 1 Muncang Disesalkan (hlm. 13), dan Jadi Jaksa Karena Kagum Sosok Ayah (hlm. 16). Sedangkan pada edisi 9 Juni 2012 terletak pada rubrik berita yang masing-masing berjudul Internet Cerdas tanpa Pornografi (hlm. 10), DPRD Kota Usulkan Perluasan Kewenangan Kecamatan (hlm. 11), Kesira Kabupaten Lebak Dapat Bantuan Ambulan (hlm. 12), Bertekad Hidup Mandiri (hlm. 13) Pekan Depan Polisi Tetapkan Tersangka Pengeroyok Jarrak (hlm. 16), Anggota DPRD Buton Belajar Perda Hiburan (hlm. 16), dan Bangkit dari Keterpurukan Setelah Ditipu Kolega (hlm. 16). Peneliti akan menjelaskan setiap kata dalam kalimat yang melakukan kesalahan penulisan partikel pun dan memberikan alternatif penulisan yang benar sesuai dengan teori yang digunakan. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat tidak mengulangi lagi kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh pemakai bahasa tulis. Terlebih dahulu peneliti akan memaparkan mengenai kesalahan yang terdapat pada seluruh rubrik berita pada edisi 7 Juni 2012. 1. Azzuri Tanpa Target Pada rubrik ini, kesalahan penulisan partikel pun ditemukan pada kata apapun dan siapapun. Kata apapun terdapat pada halaman satu paragraf pertama kalimat kedua, sedangkan kata siapapun ditemukan pada paragraf keempat kalimat kedua. Dalam rubrik ini terjadi dua kesalahan yang sama pada kata yang sama, yakni kata apapun yang terdapat pada paragraf pertama dan kata apapun pada paragraf keempat. Kata-kata yang ditemukan kesalahan terdapat pada kalimat berikut. “Dengan persiapan yang kurang meyakinkan akibat cedera, skandal pengaturan skor, dan kekalahan dalam uji coba, Gli Azzuri tidak dibebani target apapun.” (Paragraf pertama kalimat kedua) “Saya tidak punya target apapun. Saya hanya ingin menurunkan tim yang tahu bagaimana caranya bermain sejak menit pertama hingga menit terakhir siapapun lawan mereka.” (Paragraf keempat kalimat kedua) Berlandaskan pada teori yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam penulisan partikel pun ada yang terpisah dan ada yang serangkai. Dalam penulisan partikel pun yang dianggap padu lazimnya ada dua belas, yakni walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun, sungguhpun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, kalaupun, dan betapapun. Selain dua belas kata tersebut, partikel pun ditulis secara terpisah. Dengan demikian, penulisan kata apapun dan siapapun yang serangkai jelas merupakan suatu kesalahan. Oleh karena itu, alternatif penulisan yang seharusnya adalah sebagai berikut. “Dengan persiapan yang kurang meyakinkan akibat cedera, skandal pengaturan skor, dan kekalahan dalam uji coba, Gli Azzuri tidak dibebani target apa pun.” (Paragraf pertama kalimat kedua) “Saya tidak punya target apa pun. Saya hanya ingin menurunkan tim yang tahu bagaimana caranya bermain sejak menit pertama hingga menit terakhir siapa pun lawan mereka.” (Paragraf keempat kalimat kedua) 2. Jessica Iskandar Digaet Pejabat Kesalahan selanjutnya ditemukan pada sebuah wacana berjudul “Jessica Iskandar Digaet Pejabat”. Kesalahan dalam rubrik ini terletak pada halaman tujuh paragraf ketiga kalimat pertama. Pada rubrik ini masih dijumpai kesalahan yang serupa dengan kesalahan penulisan partikel pun sebelumnya, yakni penulisan kata apapun yang ditulis serangkai bukan terpisah. “Tapi Olga tidak peduli dengan urusan pribadi sahabatnya tersebut, dia sepertinya sudah tidak memiliki hubungan apapun…” Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa penggunaan partikel pun haruslah mengikuti aturan yang berlaku. Selain tidak tergolongnya kata apapun ke dalam daftar kelompok yang dianggap padu seperti yang sudah dijelaskan di atas, kata apapun juga tidak ditulis serangkai karena bukanlah klitika. Kata apapun terdiri atas kata apa dan partikel pun. Sedangkan partikel pun hanya ditulis serangkai pada bentuk klitika. Sangat jelas bahwa penulisan apapun yang ditulis serangkai adalah kesalahan. Oleh karena itu, alternatif penulisan yang benar adalah sebagai berikut. “Tapi Olga tidak peduli dengan urusan pribadi sahabatnya tersebut, dia sepertinya sudah tidak memiliki hubungan apa pun…” 3. DPRD Didesak Tindaklanjut Temuan BPK Pada rubrik kali ini terdapat kesalahan penulisan partikel pun pada halaman dua paragraf kedua kalimat ketiga. Kesalahan tersebut dapat terlihat pada kutipan di bawah ini. “Hingga orasi selesai, tak satupun anggota DPRD Banten yang menemui pengunjuk rasa.” Melihat kutipan di atas, peneliti menemukan kesalahan dalam penulisan partikel pun pada kata satupun. Sama halnya dengan kesalahan sebelumnya, satupun bukanlah klitika melainkan sebuah kata yang terdiri atas kata satu dan partikel pun. Selain itu, kata satupun tidak termasuk ke dalam daftar penulisan partikel pun yang dianggap padu. Oleh karena itu, alternatif penulisan yang benar adalah sebagai berikut. “Hingga orasi selesai, tak satu pun anggota DPRD Banten yang menemui pengunjuk rasa.” 4. Banten Incar Runner Up Pada Popwip Regional III Kali ini kesalahan yang terjadi bukan karena penulisan partikel pun yang serangkai, tetapi penulisannya yang seharusnya serangkai malah terpisah. Hal itu terlihat sekali pada kutipan yang digarisbawahi di bawah ini yang diambil dari halaman empat paragraf kesepuluh kalimat kedua. “Namun, yang penting, semua arena yang dibutuhkan sudah tersedia, kalau pun ada yang kurang, baik di Cilegon maupun di Kota Serang tinggal sedikit pembenahan.” Seperti yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa salah satu syarat penulisan partikel pun ditulis serangkai apabila kata yang mendahuluinya merupakan konjungsi. Melihat kata kalau termasuk ke dalam konjungsi subordinatif, maka penulisan partikel pun seharusnya ditulis serangkai. Selain itu, kata kalau pun terdaftar dalam dua belas kelompok yang dianggap padu. Hal tersebut semakin memperkuat kesalahan yang dilakukan pada penulisan di atas. Alternatif penulisannya yang benar adalah sebagai berikut. “Namun, yang penting, semua arena yang dibutuhkan sudah tersedia, kalaupun ada yang kurang, baik di Cilegon maupun di Kota Serang tinggal sedikit pembenahan.” 5. Penahanan Siswa SMPN 1 Muncang Disesalkan Masih dalam edisi yang sama, pada halaman tiga belas paragraf ketiga kalimat kedua terjadi kesalahan penulisan partikel pun pada kata itupun. “Hal itupun dilakukan jika memang dianggap akan mengganggu ketertiban umum.” Perlu diingat bahwa penulisan partikel pun ditulis secara terpisah dari kata yang mendahuluinya apabila kata tersebut bukan termasuk ke dalam kelompok yang lazim dianggap padu, yaitu walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun, sungguhpun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, kalaupun, dan betapapun. Karena kata itupun tidak termasuk ke dalam kelompok yang dianggap padu, maka penulisan yang benar adalah sebagai berikut. “Hal itu pun dilakukan jika memang dianggap akan mengganggu ketertiban umum.” 6. Jadi Jaksa Karena Kagum Sosok Ayah Kesalahan selanjutnya ditemukan pada wacana berita yang berbeda, yakni pada halaman enam belas paragraf ketiga kalimat keempat. Kesalahan tersebut terlihat pada penulisan kata siapapun. Kesalahan ini sudah terjadi pada rubrik sebelumnya. Namun tetap terulang kembali pada rubrik ini. “Rajin ibadah dan ramah kepada siapapun yang ia jumpai di kantornya, termasuk dengan wartawan.” Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Ejaan Yang Disempurnakan, penulisan partikel pun ditulis serangkai dari kata yang mendahuluinya apabila kata tersebut termasuk ke dalam konjungsi dan termasuk dalam daftar dua belas kelompok kata yang dianggap padu. Akan tetapi, kata siapapun bukanlah konjungsi dan tidak termasuk dalam daftar dua belas kelompok yang dianggap padu. Oleh karena itu, penulisan partikel pun pada kata siapapun yang serangkai adalah suatu kesalahan yang harus diperbaiki. Perbaikan penulisan partikel pun yang benar adalah sebagai berikut. “Rajin ibadah dan ramah kepada siapa pun yang ia jumpai di kantornya, termasuk dengan wartawan.” Dari keseluruhan rubrik yang terdapat pada harian Banten Pos edisi 7 Juni 2012, telah ditemukan sembilan kata dalam enam wacana berita yang melakukan kesalahan penulisan partikel pun. Kesalahan selanjutnya ditemukan pula pada harian Banten Pos edisi 9 Juni 2012. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada edisi sebelumnya ternyata tidak jauh berbeda dengan edisi ini. Bahkan ditemukan lebih banyak kesalahan dalam penulisan partikel pun dibandingkan dengan edisi sebelumnya. Kesalahan-kesalahan tersebut akan dipaparkan di bawah ini. 1. Internet Cerdas tanpa Pornografi Kesalahan kali ini ditemukan pada halaman sepuluh. Pada rubrik ini ditemukan kesalahan penulisan partikel pun sebanyak empat kata, yakni dimanapun, kapanpun, apapun, dan kecilpun. Kata apapun mengalami kesalahan sebanyak dua kali. Kesalahan-kesalahan tersebut adalah sebagai berikut. “… karena internet ini dapat kita akses dimanapun dan kapanpun…” (Paragraf pertama kalimat kedelapan) “…kita tidak akan pernah ketinggalan berita apapun.” (Paragraf kedua kalimat kedua) “…bahkan sampai teman semasa kecilpun kita bisa berjumpa lagi dengan adanya akun facebook.” (Paragraf ketiga kalimat kedua) “Internet saat ini memang menjadi jendela dunia kita dapat melihat atau mengakses apapun dengan media internet…” (Paragraf keempat kalimat pertama) Salah satu kaidah penulisan partikel pun yang serangkai adalah kata tersebut termasuk dalam daftar dua belas kelompok yang dianggap padu, merupakan konjungsi, dan berbentuk klitika. Sedangkan apa yang terlihat pada kutipan di atas, yakni kata dimanapun, kapanpun, apapun, dan kecilpun tidak termasuk dalam daftar dua belas kelompok yang dianggap padu dan bukan konjungsi. Kata-kata di atas terdiri atas kata kapan, apa, dan kecil yang didampingi oleh partikel pun. Khusus untuk kata dimanapun terdiri atas konjungsi di, kata mana, dan partikel pun. Oleh karena itu, penulisan alternatif yang benar adalah sebagai berikut. “… karena internet ini dapat kita akses di mana pun dan kapan pun…” (Paragraf pertama kalimat kedelapan) “…kita tidak akan pernah ketinggalan berita apa pun.” (Paragraf kedua kalimat kedua) “…bahkan sampai teman semasa kecil pun kita bisa berjumpa lagi dengan adanya akun facebook.” (Paragraf ketiga kalimat kedua) “Internet saat ini memang menjadi jendela dunia kita dapat melihat atau mengakses apa pun dengan media internet…” (Paragraf keempat kalimat pertama) 2. DPRD Kota Usulkan Perluasan Kewenangan Kecamatan Kesalahan penulisan partikel pun kali ini ditemukan pada halaman sebelas paragraf kedua kalimat pertama, yakni sebagai berikut. “Inipun dilakukan demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari perizinan bangunan.” Kata inipun di atas terdiri atas kata ini dan partikel pun. Selain itu, kata inipun bukanlah konjungsi. Melihat dua kaidah itu saja sudah dapat ditentukan bahwa penulisan kata inipun secara serangkai adalah suatu kesalahan. Penulisan yang benar seharusnya terpisah seperti yang terlihat di bawah ini. “Ini pun dilakukan demi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dari perizinan bangunan.” 3. Kesira Kabupaten Lebak Dapat Bantuan Ambulan Kesalahan selanjutnya terdapat pada halaman dua belas paragraf keempat kalimat ketiga. Kesalahan itu terlihat pada kata yang digarisbawahi di bawah ini. “Setiap manusia akan mengorbankan apapun untuk mempertahankan kesehatannya.” Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mengenai penulisan partikel pun ditulis serangkai apabila kata yang mendahuluinya merupakan bentuk klitika dan terdaftar dalam dua belas kelompok yang dianggap padu. Sedangkan kata apapun di atas terdiri atas kata apa dan partikel pun. Selain itu, kata tersebut juga tidak termasuk dalam daftar kelompok yang dianggap padu. Oleh karena itu, alternatif penulisannya yang benar adalah sebagai berikut. “Setiap manusia akan mengorbankan apa pun untuk mempertahankan kesehatannya.” 4. Bertekad Hidup Mandiri Wacana berita kali ini terletak pada halaman tiga belas. Kali ini kesalahan ditemukan pada kata apapun, siapapun dan begitupun. Kesalahan kata-kata tersebut dapat terlihat pada kutipan di bawah ini. “Intinya hidup ini harus dijalani, apapaun kondisinya…” (Paragraf ketiga kalimat pertama) “Siapapun pasti ingin anak-anaknya lebih maju dibanding orangtuanya. Begitupun dengan saya.” (Paragraf ketujuh kalimat kedua) Melihat kutipan di atas, masih saja ditemukan kesalahan penulisan pada kata apapun. Padahal penulisan kata apapun sudah terjadi pada edisi sebelumnya. Bahkan kali ini kesalahan tersebut bertambah dengan terjadinya kesalahan pengetikan kata apapun menjadi apapaun. Seperti yang sudah peneliti sampaikan sebelumnya bahwa kata apapun ditulis terpisah karena kata apapun tidak terdaftar dalam kelompok yang dianggap padu. Sama halnya dengan kata apapun, kata siapapun dan begitupun juga ditulis terpisah karena tidak termasuk dalam daftar kelompok yang dianggap padu. Selain itu, partikel pun pada kata siapapun dan begitupun memiliki arti “juga/saja”. Arti “juga/saja” pada partikel pun menyatakan bahwa penulisannya adalah terpisah bukan serangkai. Oleh karena itu, penulisannya harus terpisah seperti yang terlihat di bawah ini. “Intinya hidup ini harus dijalani, apa pun kondisinya…” (Paragraf ketiga kalimat pertama) “Siapa pun pasti ingin anak-anaknya lebih maju dibanding orangtuanya. Begitu pun dengan saya.” (Paragraf ketujuh kalimat kedua) 5. Pekan Depan Polisi Tetapkan Tersangka Pengeroyok Jarrak Wacana berita yang mengandung kesalahan dalam penulisan partikel pun kali ini terletak di halaman enam belas paragraf keempat kalimat ketiga. Kesalahan yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan kesalahan yang terjadi pada wacana sebelumnya. Kesalahan penulisan partikel pun tersebut terlihat pada kata yang digarisbawahi di bawah ini. “Namun kita tetap harus mengedepankan praduga tak bersalah kepada siapapun.” Salah satu acuan untuk menentukan suatu kata ditulis serangkai atau terpisah dengan partikel pun adalah mengetahui dan mengingat dua belas kelompok yang lazim dianggap padu penulisannya, yakni walaupun, meskipun, kendatipun, adapun, sekalipun, biarpun, sungguhpun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, kalaupun, dan betapapun. Kata-kata tersebut berupa klitika dan bukan kata. Kata siapapun seperti yang terdapat dalam kutipan di atas tidak termasuk dalam daftar penulisan yang padu. Oleh karena itu, suatu kesalahan apabila kata siapapun ditulis serangkai. Alternatif penulisan yang benar adalah sebagai berikut. “Namun kita tetap harus mengedepankan praduga tak bersalah kepada siapa pun.” 6. Anggota DPRD Buton Belajar Perda Hiburan Wacana selanjutnya yang memiliki kesalahan dalam penulisan partikel pun terdapat pada halaman enam belas paragraf keempat kalimat kedua. Kata yang mengalami kesalahan tersebut adalah kata itupun. “Larangan itupun diperkuat dengan perda pemerintahan setempat.” Hampir serupa dengan kesalahan yang terjadi pada wacana sebelumnya, yakni kata inipun. Kata itupun juga seharusnya ditulis terpisah karena tidak termasuk dalam daftar kelompok yang dianggap padu. Selain itu, kata itupun memiliki arti “juga/saja”. Alternatif penulisan yang benar adalah sebagai berikut. “Larangan itu pun diperkuat dengan perda pemerintahan setempat.” 7. Bangkit dari Keterpurukan Setelah Ditipu Kolega Kesalahan selanjutnya ditemukan pada halaman enam belas paragraf kesepuluh kalimat kedua. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini. “Menurutnya dengan gaji besarpun seseorang bisa saja kinerjanya semaunya…” Kesalahan kali ini terletak pada kata besarpun. Kata besarpun tidak seharusnya ditulis serangkai karena kata ini tidak termasuk dalam daftar kelompok kata yang dianggap padu. Selain itu, kata besarpun memiliki arti “juga/saja” sehingga semakin memperkuat kesalahan penulisan yang terjadi. Alternatif penulisan yang seharusnya adalah sebagai berikut. “Menurutnya dengan gaji besarpun seseorang bisa saja kinerjanya semaunya…” K. Simpulan Tidaklah mudah bagi seseorang menghasilkan suatu tulisan yang menarik, terutama sesuai dengan kaidah yang berlaku. Banyak sekali kesalahan yang sering dilakukan oleh pemakai bahasa tulis, baik dari segi tata bahasa, tanda baca maupun ejaan. Hal tersebut terjadi karena kurangnya wawasan pemakai bahasa mengenai kaidah kebahasaan yang sesunggguhnya. Seperti yang terjadi pada kedua edisi dalam harian Banten Pos, yakni edisi 7 Juni 2012 dan 9 Juni 2012. Ditemukan banyak sekali kesalahan dalam penulisan partikel pun. Di antara kedua edisi tersebut, justru edisi kedualah yang memiliki kesalahan lebih banyak dibandingkan edisi pertama. Padahal data yang diambil memiliki rentangan waktu yang berbeda. Seharusnya edisi kedua dapat memperbaiki kesalahan pada edisi pertama dan menjadi lebih baik dalam hal penulisannya. Akan tetapi, semua itu bertolak belakang dari apa yang terjadi. Kesalahan terbanyak dalam penulisan partikel pun ditemukan pada penulisan kata apapun. Kata ini menjadi salah satu hambatan bagi pemakai bahasa tulis dalam menuliskannya. Selain kata apapun, terdapat kata siapapun, satupun, itupun, inipun, dimanapun, kapanpun, kecilpun, begitupun, dan sebagainya. Kesalahan demi kesalahan yang terus-menerus terjadi dalam dunia penulisan sedapat mungkin harus segera dihentikan. Walaupun terlihat sepele, masalah ini merupakan penyakit yang dapat merusak pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai kaidah penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar. L. Daftar Pustaka Alwi, Hasan, dkk., 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Bungin, M. Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Finoza, Lamuddin. 2010. Komposisi Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa Nonjurusan Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia. Moleong, Lexy J., 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2001. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka. Sartono. Belajar Efektif Bahasa Indonesia Untuk Siswa SLTP Kelas 1. Jakarta: Intimedia. Suherlan dan Odien R., 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya: Pengantar Memahami Linguistik. Banten: Untirta Press. Sukasworo, dkk., 2002. Bahasa Indonesia Untaian Gramatika dan Sastra Indonesia Untuk SMU Kelas 1. Jakarta: Piranti Darma Kalokatama.

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PERCAKAPAN ANTARA IBU A, IBU B, DAN KAKAK C DI RUMAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan oleh makhluk hidup, terutama manusia untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, bahasa dapat dikaji melalui dua cara, yakni secara internal maupun secara eksternal (Chaer, 2010: 1). Kajian bahasa secara internal dapat disebut dengan kajian mikrolinguistik, sedangkan kajian bahasa secara eksternal dapat disebut pula dengan kajian makrolinguistik. Kajian mikrolinguistik adalah mengkaji bahasa melalui struktur linguistik atau struktur kebahasaannya, yakni dilihat dari struktur fonologi, morfologi, maupun struktur sintaksisnya. Kajian makrolinguistik lebih luas cakupannya, karena kajian ini tidak hanya menganalisis bahasa dari segi strukturnya saja, melainkan juga mengkaji bahasa dari luar bahasa itu sendiri. Apabila kita mengkaji bahasa menggunakan kajian makrolinguistik, maka kita akan dihadapkan pada pengintegrasian ilmu kebahasaan dengan ilmu lain di luar ilmu bahasa, seperti gabungan antara linguistik dan sosiologi menjadi sosiolingustik, gabungan antara linguistik dengan psikologi menjadi psikolinguistik, gabungan antara linguistik dan antropologi menjadi antropolinguistik, dan sebagainya. Melalui kajian mikrolinguistik, maka bahasa hanya akan diteliti dari segi struktur bahasanya saja, sedangkan kita dapat melihat suatu hal yang lebih luas yang berada di luar bahasa itu sendiri dengan menggunakan kajian makrolinguistik. Kajian makrolinguistik meneliti penutur, tindak tutur, dan seluruh lapisan masyarakat pengguna bahasa. Dalam kajian makrolinguistik berupa sosiolinguistik, akan dikaji bahasa yang terdapat dalam penutur suatu masyarakat tutur. Bahkan akan kita temukan berbagai ragam dialek berdasarkan tempat asal penutur dan dalam masing-masing dialek akan kita temukan bermacam-macam tingkatan bergantung dari kelas sosialnya. Setiap penutur bahasa memiliki verbal repertoir, yakni kemampuan berkomunikasi menggunakan semua bahasa yang dimiliki setiap orang dalam masyarakat tertentu. Verbal repertoir itu ada dua macam, yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan (Chaer, 2010: 35). Verbal repertoir yang sering kita jumpai adalah bahasa nasional, bahasa daerah, dan sebagainya. Verbal repertoir dapat juga terlihat pada BI dan B2 seorang penutur. Bahkan tak menutup kemungkinan setiap penutur memiliki lebih dari dua bahasa. Seperti yang kita ketahui bahwa B1 atau bahasa ibu adalah bahasa yang secara alami kita dapatkan sejak lahir akibat pengaruh dari lingkungan kita berada, sedangkan B2 adalah bahasa yang kita pelajari dan tidak didapatkan secara alami. B2 dapat dipelajari melalui pendidikan formal maupun dalam interaksi dengan masyarakat tutur yang berbeda bahasa. Misalnya, ketika Andi dilahirkan dari keluarga penutur bahasa Jawa dan ia dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Jawa, maka secara langsung akan membentuk B1 yang dimilikinya, yakni bahasa Jawa. Setelah ia memasuki jenjang pendidikan, ia akan memelajari bahasa lain, seperti bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan; dan bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa Inggris, dan sebagainya. Sejak saat itulah Andi telah memiliki B2. Dalam masyarakat bilingual seperti masyarakat Indonesia ini, sering terjadinya tumpang tindih dalam penggunaan bahasa. Tanpa kita sadari, ketumpangtindihan bahasa itu sudah menjadi kebiasaan dan prestise tersendiri bagi masing-masing orang dalam masyarakat. Hal itu terjadi dapat disebabkan oleh fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa hampir sebagian besar penutur bahasa tidak sepenuhnya menguasai B2 yang dimilikinya. Alasan lainnya dapat disebabkan oleh tidak tersedianya padanan kosakata atau istilah tertentu dalam B2 yang ternyata dimiliki oleh B1, atau sebaliknya. Ketika menggunakan B2 berupa bahasa Indonesia, misalnya, sering dicampuradukkan dengan B1, yakni bahasa Jawa. Hal itu terjadi karena penutur tidak mengetahui padanan yang ada dalam bahasa Jawa, namun tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Fenomena seperti itu, sering kali disebut dengan campur kode. Peristiwa yang hampir serupa dengan campur kode adalah alih kode. Campur kode dan alih kode merupakan fenomena kebahasaan yang menggunakan dua variasi bahasa atau lebih dalam satu percakapan. Bedanya, campur kode merupakan penyisipan kata, frasa, klausa, idiom dari bahasa lain ke dalam satu bahasa tertentu; sedangkan alih kode merupakan pengalihan dari suatu bahasa ke bahasa lain karena berbagai faktor tertentu. Kedua istilah ini, yakni alih kode dan campur kode adalah dua fenomena yang biasanya selalu terjadi bersamaan. Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode (Chaer, 2010: 114). Banyak sekali penutur bahasa yang tidak mengetahui istilah alih kode maupun campur kode. Bahkan sebagian besar beranggapan bahwa permasalahan itu hanyalah urusan orang bahasa, tanpa mengharapkan penjelasan yang lebih jelas lagi. Mereka tidak mau ambil pusing memikirkan suatu hal yang mereka pikir tidak akan mereka kuasai. Padahal, fenomena alih kode dan campur kode sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Fenomena alih kode dan campur kode tidak pernah terlepas dari percakapan sehari-hari, baik di rumah dengan orang tua, kakak, tetangga, maupun dengan suami atau anak; di kantor; di sekolah; dan segala tempat di muka bumi yang menggunakan bahasa. Fenomena ini pun dapat kita temukan dalam rapat-rapat internal maupun eksternal, pidato, naskah drama, karya sastra berupa cerpen, novel, dan sebagainya. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dibutuhkan suatu penelitian yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode guna memberikan penerangan bagi masyarakat tutur mengenai istilah alih kode dan campur kode yang terjadi dalam percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan judul Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C di Rumah sebagai pijakan awal untuk mengetahui kemunculan fenomena kebahasaan tersebut dalam kegiatan bertutur manusia. 1.2 Pertanyaan Penelitian Untuk mempertegas fokus penelitian dan menetapkan isi penelitian, maka harus dirumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian, dalam hal ini mengenai Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C di Rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan akan dicarikan jawabannya melalui penelitian. Pertanyaan penelitian ini merupakan panduan awal bagi peneliti untuk menelusuri objek yang diteliti. Pertanyaan penelitian ini juga harus sesuai dengan objek penelitiannya. Kalau berbeda, maka pertanyaan penelitian harus diubah. Adapun pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah alih kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah? 2. Bagaimanakah campur kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah? 1.3 Tujuan Penelitian Segala sesuatu yang kita kerjakan pasti memiliki tujuan. Begitu pula halnya dengan penelitian. Sebuah penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan penelitian yang dimaksudkan di sini adalah tujuan dari penelitian itu dilakukan (Danim, 2002: 91). Tujuan yang hendak dicapai dalam melaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Alih kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah. 2. Campur kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah. BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Percakapan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 189), percakapan adalah pembicaraan; perundingan; perihal bercakap-cakap; satuan interaksi bahasa antara dua pembicara atau lebih. Percakapan/diskusi adalah dialog antara dua orang atau lebih. Membangun komunikasi melalui bahasa lisan (melalui telepon, misalnya) dan tulisan (di chat room). Percakapan ini bersifat interaktif yaitu komunikasi secara spontan antara dua atau lebih orang. Dalam sebuah percakapan, kedua komunikan dan komunikator berinteraksi saling memberikan kontribusi dalam sebuah komunikasi lisan maupun tulisan, tidak seperti monolog. Diskusi atau percakapan sama halnya dengan berbicara dengan dua orang atau lebih. Tetapi di saat yang sama, masing-masing komunikator dan komunikan memiliki giliran dan kesempatan untuk berbicara dan yang lainnya mendengar. Percakapan dapat berputar di sekitar satu subyek atau banyak dan dikondisikan oleh konteks. Dalam situasi informal, percakapan dapat bervariasi tanpa harus ada pengaturan yang membebani sebuah diskusi. Komunikator dan komunikan saling berdialog dan dapat mengekspresikan pandangan mereka saat berdiskusi. 2.2 Alih Kode Appel (dalam Chaer, 2010: 107) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Hymes (dalam Chaer, 2010: 107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dell Hymes (dalam Rahardi, 2010: 24) menyatakan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Dia juga menyebut apa yang disebut sebagai alih kode intern (internal code switching), yakni yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern (external code switching) adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dan bahasa asing. Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 179). Alih kode dapat berupa alih kode gaya, ragam, maupun variasi-variasi bahasa yang lainnya. Nababan (dalam Rahardi, 2010: 5) menyebutkan bahwa alih kode mencakup kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek lain, dan sebagainya. Alih kode di dalam pengertian sempit dimaknai sebagai peralihan dari kode kebahasaan yang satu ke dalam kode kebahasaan yang lainnya. Akan tetapi, pada umumnya di dalam banyak literatur, alih kode dimaknai secara luas menjadi peralihan antarbahasa, peralihan antarkode, dan peralihan antarvarian (Suwito dalam Rahardi, 2010: 5). Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa seseorang sering mengganti kode bahasanya pada saat bercakap-cakap (dalam Rahardi, 2010: 24-25). Pergantian itu dapat disadari atau bahkan mungkin pula tidak disadari oleh penutur. Gejala alih kode semacam ini timbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Lebih lanjut dia juga menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching), yakni pergantian kode bahasa yang dipakai oleh penutur yang berlangsung sebentar atau sementara saja. Di samping itu, dia juga menyebut alih kode yang sifatnya permanen (permanent code switching), yakni peralihan bahasa yang terjadi secara permanen. Melihat dari pemaparan beberapa ahli di atas mengenai alih kode maka dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah pengalihan suatu ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Tidak hanya dalam satu bahasa, tetapi juga alih kode dapat terjadi antarbahasa, yakni dari satu kode ke kode lainnya yang keberlangsungannya dapat dilakukan secara sadar ataupun tanpa disadari penutur, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Berdasarkan pengalihan bahasanya, alih kode juga ada yang bersifat intern maupun ekstern. Alih kode intern adalah terjadi pengalihan bahasa antarbahasa daerah dan bahasa nasional, dan sebagainya; sedangkan alih kode ekstern terjadi apabila pengalihan bahasa terjadi antara bahasa asli dan bahasa asing. Terjadinya alih kode disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Widjajakusumah (dalam Chaer, 2010: 112), terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena: 1. kehadiran orang ketiga; 2. perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis; 3. beralihnya suasana bicara; 4. ingin dianggap “terpelajar”; 5. ingin menjauhkan jarak; 6. menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda; 7. mengutip pembicaraan orang lain; 8. terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia; 9. mitra berbicaranya lebih mudah; 10. berada di tempat umum; 11. menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda; 12. beralih media/sarana bicara. Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah karena: 1. perginya orang ketiga; 2. topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis; 3. suasana beralih dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan; 4. merasa ganjil untuk tidak berbahasa Sunda dengan orang sekampung; 5. ingin mendekatkan jarak; 6. ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa Sunda halus, dan berakrab-akrab dengan bahasa Sunda kasar; 7. mengutip dari peristiwa bicara yang lain; 8. terpengaruh oleh lawan bicara yang berbahasa Sunda; 9. perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda; 10. merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum; 11. ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda; 12. beralih bicara biasa tanpa alat-alat telepon. 2.3 Campur Kode Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi mempunyai fungsi sendiri (Suwito dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 171). Campur kode memiliki berbagai bentuk/wujud. Campur kode ada yang berwujud kata, kata ulang, kelompok kata, idiom maupun berwujud klausa. Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia (Ashlinda: 87). Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Nababan (dalam Ashlinda: 87) menjelaskan ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing. Thelander (dalam Chaer, 2010: 115) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Fasold (dalam Chaer, 2010: 115) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa. Dari pemaparan para ahli mengenai batasan-batasan campur kode, maka dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah fenomena di mana terjadinya pencampuran bahasa dengan menyisipkan bahasa daerah atau bahasa asing berupa kata, frasa, klausa, dan idiom ke dalam satu bahasa asli. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengutamakan kata-kata, dan tindakan sebagai sumber utama dalam penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 2003: 54). Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan setiap fenomena yang terjadi dalam lingkungan masyarakat secara apa adanya. Dengan menggunakan metode ini, penelitian ini akan menggambarkan secara apa adanya alih kode dan campur kode yang terdapat dalam percakapan antara responden A, responden B, dan responden C yang dilakukan di rumah. Untuk menggambarkan alih kode dan campur kode dalam percakapan tersebut, maka diperlukan metode analisis untuk menganalisis seluruh kata, frasa, klausa, idiom, dan kalimat dalam dialog-dialog yang dituturkan oleh ketiga responden. 3.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik rekaman dan studi dokumenter dalam mengumpulkan data. Teknik rekaman adalah suatu cara mendokumentasikan suatu kejadian atau fenomena berupa suara melalui alat bantu, seperti handphone, tape recorder, dan alat lainnya yang memiliki kemampuan merekam suara. Penelitian ini menggunakan teknik rekaman dengan alat bantu berupa handphone. Studi dokumenter (documentary study) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. 3.3 Teknik Analisis Data Analisis data dalam suatu penelitian sangat diperlukan karena untuk menemukan hasil penelitian itu sendiri. Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif (Moleong, 2007: 10). Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori tetapi dimulai dari fakta empiris (Margono, 2004: 38). Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dengan demikian, temuan penelitian di lapangan yang kemudian dibentuk ke dalam bangunan teori bukan dari teori yang telah ada, melainkan dikembangkan dari data lapangan (induktif). Miles dan Huberman (dalam Margono, 2004: 39) menyajikan dua model pokok proses analisis. Pertama, model analisis mengalir, di mana tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan/vertifikasi) dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data dan mengalir bersamaan. Kedua, model analisis interaksi, di mana komponen reduksi data dan sajian data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Setelah data terkumpul, maka tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan) berinteraksi. Penelitian ini menggunakan dasar analisis data sebagai berikut. 1. Peneliti merekam percakapan orang lain. Percakapan yang terjadi dilakukan secara natural tanpa pemberitahuan kepada responden; 2. Peneliti mendengarkan kembali percakapan yang telah dilakukan responden melalui rekaman; 3. Peneliti mulai mempelajari fenomena apa yang terjadi dalam percakapan yang dilakukan oleh responden; 4. Setelah mengetahui bahwa percakapan yang dilakukan oleh responden memuat unsur alih kode dan campur kode, peneliti mulai mencatat sekaligus mengklasifikasikan unsur-unsur mana saja yang termasuk alih kode ataupun campur kode; 5. Kata-kata, frasa, klausa, idiom, maupun kalimat berupa dialog-dialog yang telah ditemukan, diklasifikasikan kemudian dianalisis berdasarkan konsep alih kode dan campur kode. 3.4 Sumber dan Data Penelitian Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah tiga responden yang sedang melakukan percakapan. Ketiga responden itu bernama Robiatussaadiah, S.Pd.SD; Ari; dan Nurul Iman, S.Pd.SD. Data dalam suatu penelitian sangat dibutuhkan sebagai landasan diadakannya suatu penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dialog-dialog yang dituturkan oleh ketiga responden di atas dalam percakapan ragam santai yang dilakukan di dalam rumah responden bernama Ari. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Data Penelitian ini dilakukan di dalam rumah, tepatnya di salah satu kampung di Cilegon, Banten pada hari Jumat, 21 Desember 2012 pukul 16:40 WIB dengan durasi waktu 3 menit 25 detik. Responden adalah dua orang perempuan bernama Atul (A), Ari (B), dan seorang lelaki bernama Iman (C). Data kedua responden adalah sebagai berikut. Responden A Nama : Robiatussaadiah, S.Pd.SD (Atul) Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 44 tahun Bahasa pertama : Jawa Bahasa kedua : Indonesia Status : Menikah Profesi : Guru SD Responden B Nama : Ari Jenis Kelamin : Perempuan Usia : 37 tahun Bahasa pertama : Jawa Bahasa kedua : Indonesia Status : Menikah Profesi : Ibu rumah tangga Responden C Nama : Nurul Iman, S.Pd.SD Jenis Kelamin : Laki-laki Usia : 22 tahun Bahasa pertama : Jawa Bahasa kedua : Indonesia Status : Lajang Profesi : Guru SD Atul (A), Ari (B), dan Iman (C) sedang melakukan percakapan dalam rumah. Mereka sedang membicarakan seorang anak bernama Amin. B1 dari ketiga responden adalah bahasa Jawa, dan B2 mereka adalah bahasa Indonesia. Berikut isi transkrip percakapan mereka yang sudah diubah dalam bentuk tulisan. Arie : ‘Jejorangan jeh beneran’. Hahahaha. (Bercanda malah beneran) Iman : Tak omong sama saya, ‘Kamu tuh kalo bercanda jangan cengeng!’, kata saya. Akhirnya kan sayanyakan timbul yah mencuat juga Ibu yah?” Arie : Heeh. Atul : Dikirane batur-batur mah marah kali yah? (Dikira teman-teman marah kali yah?) Arie : Wong kane barang dianu kok. (orang pas dilakukan) Atul : Tapi emang bocah kuen lagi jaman kelas siji Mba kan dewekke aturan kelas lima. (Tapi memang anak itu saat kelas satu Mba kan dia seharusnya kelas lima) Iman : Enem atau lima, Ibu? (Enam atau lima, Ibu?) Atul : Lima. Jadi, ape kan? Emboh kelas lime, kelas enem yah? Setahun iku sekolah pengene ditungguni ma tetehnya itu, Ibunya wis bosen nganter- nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Lah ken kesel tetehnya kan yah, tinggal balik. Nangisnya ore liren-liren beneran. Sampe Ibu Tuti nganterakeun. ‘Yuk, pulanglah-pulanglah kamu gak usah sekolah juga gak apa-apa’. Akhirnya diomong ‘dah nong, besok gak sekolah juga gak apa-apa, Amin mah’. Dari situ gak sekolah-sekolah. Manjing-manjing tahun yang berikutnya daftar baru lagi. (Lima. Jadi, apa itu? Tidak tahu kelas lima, kelas enam ya? Setahun itu selalu ingin ditunggui sama tetehnya. Ibunya sudah bosan nganter-nganter. Pokoknya tidak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Tetehnya kan kesel, akhirnya ditinggal. Nangis terus tidak berhenti-berhenti. Sampai Ibu Tuti mengantarkan. ‘Yuk, pulanglah kamu tidak usah sekolah juga tidak apa-apa’. Dari situ tidak sekolah-sekolah. Masuk sekolah tahun berikutnya daftar baru lagi) Ari : Ya Allah. Iman : Terus tadi pagi, ‘Kak Iman, minta maaf yah. Kak Iman minta maaf yah’. ‘ngulangin lagi awas kamu!’ Ari : Udah, terus paginya gitu? Iman : Tadi pagi. Ari : Oh, tadi pagi? Iman : Iyah, Ibu. Ari : Berarti apa yah? Hahaha. Atul : Wis tue barange mah wis tue. (Udah tua) Ari : Barang ning kene yah nonggoni, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet ajah. Pake sepatu itu kan. ‘Amin! Udah dibilangin sepatunya dilepas! Ini tempat salat!’. (Di sini menunggu, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet saja. Pakai sepatu. ‘Amin! Udah dibilang sepatunya dilepas! Ini tempat salat!’) Atul : Ngapani? (Ngapain?) Ari : Jalan-jalan ning merana-merono pisan. ‘Bilangin Pak Har kamu tuh yah! Ngeyelnya minta ampun!’ (Jalan-jalan ke sana-ke sini terus. ‘Saya bilang Pak Har kamu tuh ya! Ngeyelnya minta ampun!) Iman : Lucu sih orangnya, Ibu. Cuma yah gitu kalo diajak bercanda gitu. Atul : Ngelunjak. Iman : Heeh. Ari : ‘Bude, tuku lelene yah Bude karo kandang-kandangnya?’ terus karo pak Harnya, ‘emangnya Bude kamu?’ (Bude, beli lelenya ya Bude sama kandang-kandangnya?’ terus sama Pak Harnya, ‘memangnya Bude kamu?’) Iman : Jadi akhirnya, kan tadinya tak cetakkin mulu kepalanya diem ajah yah Ibu wong ketawa ajah. ‘hoh, kak Iman sombong! Kak Iman sombong! Jelek! Jelek!’ katanya gitu. Tak kepakkin segala macem kepalanya tuh diem ajah ibu gak ngebahas gak ngerasa kesakitan. Lah barang udah saya cemplungin, nangis itu basah kan rambutnya ibu, rambutnya doang yang basah sama baju sebelah sini, belakangnya ini yang basah. 4.2 Analisis Data Percakapan dalam rumah yang dilakukan oleh respoden A, B, dan C, berjumlah 24 dialog. Percakapan dengan durasi waktu 3 menit 25 detik itu menggunakan dua bahasa, yakni bahasa ibu si penutur berupa bahasa Jawa dan bahasa kedua si penutur berupa bahasa Indonesia. Setelah mendengarkan dialog yang dilakukan oleh ketiga responden, ternyata telah terjadi alih kode dan campur kode di berbagai dialog. Data 1 Arie : ‘Jejorangan jeh beneran’. Hahahaha. (Bercanda malah beneran) Iman : Tak omong sama saya, ‘Kamu tuh kalo bercanda jangan cengeng!’, kata saya. Akhirnya kan sayanyakan timbul yah mencuat juga Ibu yah?” Arie : Heeh. Atul : Dikirane batur-batur mah marah kali yah? (Dikira teman-teman marah kali yah?) Arie : Wong kane barang dianu kok. (Orang pas dilakukan) Atul : Tapi emang bocah kuen lagi jaman kelas siji Mba kan dewekke aturan kelas lima. (Tapi memang anak itu saat kelas satu Mba kan dia seharusnya kelas lima) Iman : Enem atau lima, Ibu? (Enam atau lima, Ibu?) Atul : Lima. Jadi, ape kan? Emboh kelas lime, kelas enem yah? Setahun iku sekolah pengene ditungguni ma tetehnya itu, Ibunya wis bosen nganter- nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Lah ken kesel tetehnya kan yah, tinggal balik. Nangisnya ore liren-liren beneran. Sampe Ibu Tuti nganterakeun. ‘Yuk, pulanglah-pulanglah kamu gak usah sekolah juga gak apa-apa’. Akhirnya diomong ‘dah nong, besok gak sekolah juga gak apa-apa, Amin mah’. Dari situ gak sekolah-sekolah. Manjing-manjing tahun yang berikutnya daftar baru lagi. (Lima. Jadi, apa itu? Tidak tahu kelas lima, kelas enam ya? Setahun itu selalu ingin ditunggui sama tetehnya. Ibunya sudah bosan nganter-nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Tetehnya kan kesel, akhrnya ditinggal. Nangis terus tidak berhenti-berhenti. Sampai Ibu Tuti mengantarkan. ‘Yuk, pulanglah kamu tidak usah sekolah juga tidak apa-apa’. Dari situ tidak sekolah-sekolah. Masuk sekolah tahun berikutnya daftar baru lagi) Ari : Ya Allah. Percakapan di atas terdiri atas 8 dialog yang dilakukan oleh ketiga responden. Ketiga responden sedang membicarakan seorang anak bernama Amin yang memiliki sifat nakal, tetapi cengeng. Ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas lima, ia sempat putus sekolah karena tidak dapat jauh dari ibu dan kakaknya. Dilihat dari dialog-dialog di atas, responden A dan B menggunakan bahasa Jawa dalam setiap tuturnya, sedangkan responden C menggunakan bahasa Indonesia. Baik responden A, dan B yang tetap mempertahankan bahasa ibunya dalam percakapan maupun responden C yang tidak menggunakan bahasa ibunya namun tetap menggunakan bahasa Indonesia, di antara ketiganya telah terjadi campur kode, yakni menyelipkan kata-kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Begitu juga sebaliknya. Bahkan mereka juga sering melakukan alih kode. Alih kode yang ketiga responden lakukan bersifat sementara, karena masih berubah-ubah dan berlangsung secara tidak sadar. Alih kode itu terjadi karena beberapa faktor, yakni responden mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia dan terpengaruh oleh bahasa lawan bicara. Alih kode yang dilakukan oleh ketiga responden di atas termasuk ke dalam alih kode intern, yakni pengalihan bahasa dari bahasa daerah ke bahasa nasional (baca: bahasa Indonesia) maupun sebaliknya. Campur kode yang dilakukan oleh responden A terlihat pada dialog pertama berupa kata beneran. Campur kode yang dilakukan oleh responden B terlihat pada dialog keempat berupa kata marah; dialog keenam berupa kata lima; dialog kedelapan berupa kata lima, nangisnya, beneran, dan frasa tahun yang berikutnya daftar baru lagi. Kata-kata maupun frasa yang diucapkan oleh responden A dan responden B termasuk ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan bahasa yang digunakan mereka sebelumnya menggunakan bahasa Jawa. Campur kode yang dilakukan oleh responden C terihat pada dialog kedua berupa kata tak; dan dialog ketujuh berupa kata enem. Bahasa ibu responden C adalah bahasa Jawa. Akan tetapi, dalam percakapan ini ia menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Karena kedua responden yang lain menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan, maka ia terihat terpancing untuk mengeluarkan bahasa Jawanya. Hal itu terlihat pada munculnya kata tak dan enem. Kedua kata itu berasal dari bahasa Jawa, tetapi diselipkan oleh responden C ke dalam bahasa Indonesia. Selain campur kode, telah terjadi alih kode yang dilakukan oleh ketiga responden. Alih kode terlihat pada dialog kedelapan yang dilakukan oleh responden A bernama Atul. Pada mulanya, ia menggunakan bahasa Jawa dalam menuturkan cerita yang disampaikannya. Akan tetapi, bahasa Jawa yang dijadikan sebagai bahasa ibunya berpindah menjadi bahasa Indonesia pada kalimat kelima, enam, sepuluh, sebelas, dan duabelas. Pengalihan kode yang terjadi disebabkan oleh responden A hendak mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Data 2 Iman : Terus tadi pagi, ‘Kak Iman, minta maaf yah. Kak Iman, minta maaf yah’. ‘ngulangin lagi awas kamu!’ Ari : Udah, terus paginya gitu? Iman : Tadi pagi. Ari : Oh, tadi pagi? Iman : Iyah, Ibu. Ari : Berarti apa yah? Hahaha. Atul : Wis tue barang mah wis tue. (Udah tua) Ari : Barang ning kene yah nonggoni, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet ajah. Pake sepatu itu kan. ‘Amin! Udah dibilangin sepatunya dilepas! Ini tempat salat!’. (Di sini menunggu, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet saja. Pakai sepatu. ‘Amin! Udah sibilang sepatunya dilepas! Ini tempat salat!’) Atul : Ngapani? (Ngapain?) Ari : Jalan-jalan ning merana-merono pisan. ‘Bilangin Pak Har kamu tuh yah! Ngeyelnya minta ampun!’ (Jalan-jalan ke sana-ke sini terus. ‘Saya bilang Pak Har kamu tuh ya! Ngeyelnya minta ampun!) Iman : Lucu sih orangnya, Ibu. Cuma yah gitu kalo diajak bercanda gitu. Atul : Ngelunjak. Iman : Heeh. Ari : ‘Bude, tuku lelene yah Bude karo kandang-kandangnya?’ terus karo pak Harnya, ‘emangnya Bude kamu?’ (Bude, beli lelenya ya Bude sama kandang-kandangnya?’ terus sama Pak Harnya, ‘memangnya Bude kamu?’) Iman : Jadi akhirnya, kan tadinya tak cetakkin mulu kepalanya diem ajah yah Ibu wong ketawa ajah. ‘hoh, kak Iman sombong! Kak Iman sombong! Jelek! Jelek!’ katanya gitu. Tak kepakkin segala macem kepalanya tuh diem ajah Ibu gak ngebahas gak ngerasa kesakitan. Lah barang udah saya cemplungin, nangis itu basah kan rambutnya ibu, rambutnya doang yang basah sama baju sebelah sini, belakangnya ini yang basah. Percakapan di atas masih merupakan satu kesatuan dengan percakapan sebelumnya. Bahkan kedua percakapan ini masih mengangkat topik yang sama dan dilakukan dalam waktu dan tempat yang sama. Akan tetapi, fenomena campur kode tidak terlalu banyak terjadi seperti yang terjadi pada percakapan sebelumnya. Pada percakapan ini, campur kode hanya ditemukan satu kata berupa kata tak sebanyak dua kali pengucapan dalam dialog yang sama, kata wong, dan kata lah masih dalam dialog yang sama. Penggunaan kata tak, wong dan lah terlihat pada dialog kelimabelas yang dilakukan oleh responden C bernama Iman. Pada percakapan kali ini pun responden C masih bersikeras menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa ibunya. Walaupun demikian, unsur kejawaan masih melekat dalam bahasanya. Hal itu terlihat pada masuknya serpihan-serpihan kata tak, wong, dan lah dalam percakapannya yang menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode yang terdapat dalam percakapan ini lebih banyak dibandingkan dengan yang terjadi pada percakapan sebelumnya. Pada percakapan kali ini, alih kode tidak lagi hanya dilakukan oleh responden A, tetapi juga dilakukan oleh responden B. Alih kode terlihat hampir pada keseluruhan dialog. Alih kode pertama terlihat pada dialog pertama hingga keenam antara responden B dan C. Pada percakapan sebelumnya, responden B selalu menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi; sedangkan pada percakapan kali ini ia beralih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena ia merasa terpancing atau terpengaruh dengan pihak ketiga, yakni responden C yang menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode kembali dilakukan oleh responden B. Ketika ia berbicara dengan responden C, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada dialog selanjutnya ketika responden A berbicara, responden B menanggapinya menggunakan bahasa Jawa. Hal itu terjadi karena responden B ingin mendekatkan jarak antara ia dan responden A. Ia ingin pembicaraan yang terjadi terasa akrab, salah satunya menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa lawan tutur. Pada dialog kedelapan, responden B kembali melakukan alih kode. Hal itu terjadi karena ia sedang mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Pada dialog selanjutnya, responden B beralih kode lagi menjadi bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan responden A yang notabene selalu menggunakan bahasa Jawa. Alih kode yang terjadi pada dialog ketiga responden di atas dilakukan secara tidak sadar dan bersifat sementara. Alih kode yang terjadi pun termasuk ke dalam alih kode intern, yakni perpindahan dari bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia maupun sebaliknya. BAB V SIMPULAN Istilah alih kode dan campur kode sudah menjadi bagian dari kegiatan berbahasa manusia. Kedua istilah itu tidak dapat dilepaskan dari benak penutur, karena setiap kita melakukan kegiatan berbahasa, kedua istilah ini tidak jarang muncul dalam tuturan kita. Istilah ini sering kali ditemukan dalam percakapan di rumah dengan orang tua, keluarga, saudara, bahkan dalam kegiatan rapat pun sering terjadi. Seperti yang terjadi pada dua orang perempuan bernama Robiatussaadiah, S.Pd.SD dan Ari; serta seorang laki-laki bernama Nurul Iman, S.Pd.SD. Ketiga responden ini yang kemudian disebut responden A, B, dan C telah melakukan percakapan dalam rumah responden B pada hari Jumat, 21 Desember 2012 pukul 16:40 WIB dengan durasi waktu 3 menit 25 detik. Ketiga responden di atas memiliki B1 berupa bahasa Jawa, sedangkan B2 berupa bahasa Indonesia. Dalam percakapan mereka ditemukan fenomena alih kode dan campur kode, baik dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya. Fenomena campur kode sering terjadi pada responden C, sedangkan alih kode sering dilakukan oleh responden A terutama lebih banyak lagi dilakukan oleh responden B. Campur kode sering terjadi pada ketiga responden karena terpengaruh lawan bicara yang menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa. Sedangkan alih kode terjadi pada ketiga responden karena ingin mengutip pembicaraan orang lain; terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa; ingin mendekatkan jarak; dan mereka merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum.

Esai Kartini

KARTINI DALAM BALUTAN PATRIARKI (KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERNIKAHAN) A. Kartini dalam Balutan Adat-Istiadat Ketika mendengar wacana “Kartini”, kita telah diajak untuk kembali ke masa lalu, di mana pertama kalinya seorang pejuang bernama Kartini muncul ke permukaan dengan gagah beraninya mengajarkan pendidikan kepada masyarakat Indonesia yang dilarang untuk mengenyam pendidikan. Pada masa Kartini yang sarat akan adat-istiadat Jawa dengan kentalnya sistem patriarki, menjadikan sosok perempuan bak babu yang lebih terikat dibandingkan babu sebenarnya. Perempuan harus siap menikah di usia muda, dimulai dari usia 12 tahun dengan lelaki yang sama sekali tak dikenal dan harus siap untuk dimadu. Perempuan juga dilarang mengenyam bangku pendidikan. Kartini yang merupakan anak Bupati dan sempat mencicipi bangku pendidikan, merasakan ketidakadilan tersebut dan merasa harus memberantas penderitaan yang dialami oleh tokoh perempuan. Naas, perjuangan Kartini sekali lagi mengalami benturan lebih keras dibandingkan sebelumnya. Ia harus berhadapan dengan lawan yang lebih berat, yakni ayahnya sendiri. Ia pun tak bisa berkutik melawan adat-istiadat dan mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. Pada masa Kartini, adat-istiadat sangat dipegang kuat oleh masyarakatnya. Bahkan Kartini yang seorang pejuang pun tak bisa berkutik dan harus mematuhi perintah ayahnya. Saat itu, perintah sang ayah adalah perintah yang paling tinggi yang harus diikuti oleh perempuan. Perjuangan Kartini yang berusaha memajukan perempuan pun harus rela bertabrakan dengan adat-istiadat yang berlaku. Pada akhirnya, Kartini harus rela menikah dengan laki-laki yang dijodohkan dengannya pada usia 24 tahun. Ia meninggal di usia 25 tahun ketika melahirkan anak pertamanya. Jika melihat sosok Kartini, kita akan dihadapkan pada sosok perempuan yang perkasa dan berani menggapai cita-cita. Walaupun pada akhirnya ia harus mati muda di usianya yang baru menginjak angka 25. Akan tetapi, kematiannya tidak sia-sia karena dirinya telah memberikan kontribusi yang besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangannya memajukan harkat perempuan menjadikannya salah satu tokoh emansipasi bangsa Indonesia. B. Emansipasi dan Feminisme dalam Kartini Melihat tokoh Kartini, maka kita dapat menyaksikan bagaimana seorang perempuan berusaha untuk melakukan penyetaraan gender dan menuntut persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki, salah satunya melalui pendidikan untuk kaum perempuan. Adanya wacana “persamaan hak” antara perempuan dengan laki-laki, maka kita mengenal adanya istilah emansipasi dan feminisme. Kita harus mampu membedakan antara kedua istilah ini. Emansipasi, dari kata emancipatio (Latin), berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan (Ratna, 2007: 219). Tetapi dalam kenyataannya selalu dikaitkan dengan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari istilah yang paling dikenal adalah emansipasi. Feminisme dalam hal ini lebih luas dibandingkan dengan emansipasi. Emansipasi cenderung digunakan sebagai istilah yang berarti pembebasan dari perbudakan yang sesungguhnya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, emansipasi tidak mutlak sebagai persamaan hak perempuan jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan hak serta ketidakadilan jender (Kridalaksana dalam Sofia, 2009: 13). Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti wanita (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2006: 184). Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana dalam Sofia, 2009: 13). Melihat pernyataan di atas, maka perjuangan Kartini selama ini adalah suatu usaha yang sangat keras untuk menyetarakan perempuan dengan laki-laki. Emansipasi yang dilakukannya akan menjadi salah satu dorongan munculnya feminisme dalam benak perempuan Indonesia. Hal itu terjadi karena perempuan selalu dimarginalisasikan dan diperlakukan tidak adil oleh laki-laki, tidak hanya dalam kehidupan sosial, namun mencakup seluruh bidang kehidupan. C. Kartini dalam Citra Masyarakat Indonesia Apabila kita kembali ke masa kini, di mana Kartini telah melebur ke dalam jiwa kaum perempuan. Kita akan melihat sebuah ketimpangan yang menjadikannya sebuah ironi. Citra perempuan yang diagungkan dan diperjuangkan oleh Kartini ternyata hanya sebuah kibasan sejarah yang semakin lama semakin menghilang terkikis waktu. Pendidikan memang telah dinikmati oleh kaum perempuan, tetapi perempuan tidak sepenuhnya hidup sebagai perempuan. Perempuan tetaplah perempuan yang bergerak di dapur, mengurus suami, mengurus anak dan mengurus rumah. Perempuan tetaplah hidup sesuai kodratnya yang menyandang status babu dalam kehidupan. Perempuan tetap berada jauh di bawah laki-laki dan tidak dapat menikmati sepenuhnya nafas Kartini yang menginginkan kebebasan perempuan seutuhnya. Laki-laki tetap menduduki perannya sebagai superior yang memegang kuasa penuh terhadap kaum perempuan. Terdapat beberapa perempuan yang hidup di pelosok negeri bahkan di ibu kota yang masih saja terikat oleh sistem Siti Nurbaya, yakni sebuah istilah yang diambil dari sebuah kisah sastra klasik karangan Marah Rusli yang menampilkan perjodohan kawin paksa oleh kedua orang tua. Selain itu, perempuan juga masih mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh manusia bernama laki-laki. Apabila kita melihat realita dalam kehidupan, perempuan jarang sekali diberikan kepercayaan untuk menduduki bangku kekuasaan. Dapat kita saksikan hanya segelintir perempuan yang dapat menduduki bangku pemerintahan. Hanya seorang perempuan bernama Megawati Soekarno Putri yang dapat meraih jabatan presiden. Rendahnya kepercayaan terhadap perempuan memegang suatu kendali tidak hanya terlihat pada pemerintahan, tetapi juga terihat pada bidang sastra. Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang (Rosidi, 1965: 61). Hal yang sejalan disampaikan oleh Rusmini dalam pengantar novelnya berjudul Tarian Bumi (2004: vii) bahwa dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia terdapat fakta yang sulit dibantah, yakni jumlah penulis perempuan yang sangat sedikit jika dibanding penulis laki-laki. Melihat pernyataan tersebut, dapat kita saksikan betapa langkanya sebuah karya hasil buah tangan pengarang perempuan yang sejak beberapa puluh tahun silam hingga saat ini tidak mampu mengalahkan jumlah pengarang laki-laki. Citra perempuan dalam masyarakat pun tidak hanya berkutat dengan satu bidang saja, tetapi melingkupi seluruh bidang kehidupan. Salah satunya terlihat dalam konteks pernikahan. D. Kartini dalam Balutan Patriarki (Kehidupan Pernikahan) Kartini merupakan salah satu lambang “perempuan” yang memang sejak dahulu sudah merasakan ketidakadilan karena permasalahan gender. Seperti yang dialami oleh Kartini, budaya patriarki memang sudah mengakar kuat dalam darah masyarakat Indonesia. Patriarki dijadikan sebagai alat untuk menduduki kekuasaan paling tinggi dalam ranah kehidupan manusia. Dalam masyarakat patriarkhat, anak laki-laki merupakan harapan, maka secara langsung akan mengkondisikan superioritas laki-laki. Kodrat perempuan dalam mengandung dan melahirkan, secara kultural diharuskan untuk memeliharanya, yang pada gilirannya akan mengurangi sifat agresif, sebaliknya menumbuhkan sifat pasif, lemah lembut, dan sebagainya (Ratna, 2006: 187). Salah satu representasi kuatnya budaya patriarki dalam kehidupan ini terlihat dalam pernikahan. Perempuan ditakdirkan untuk melahirkan bibit-bibit baru yang akan menciptakan kehidupan-kehidupan baru di dunia ini. Untuk itu, perempuan harus melakukan suatu hal yang sakral dengan melakukan pernikahan. Dengan disahkannya perempuan menjadi isteri laki-laki, maka pada detik itulah aktivitas perbudakan menjadi kehidupan baru bagi perempuan. Sejak saat itu, perempuan telah sepenuhnya terikat oleh sistem patriarki dan tidak dapat berkutik dalam genggaman laki-laki. Lembaga rumah tangga, sebagai konstruksi patriarki, ternyata memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi laki-laki untuk mendominasi perempuan. Melalui lembaga patriarki inilah mengalir berbagai model dominasi dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan benar-benar hanya berfungsi untuk orang lain, sebagai heterocentric yang dipertentangkan dengan egocentric, berpusat pada diri sendiri (Ratna, 2007: 230). Melihat pernyataan di atas, semakin memperkuat kedudukan pernikahan dalam paradigma feminisme bahwa pernikahan merupakan pengikat kebebasan perempuan dalam mengekspresikan dirinya sendiri. Dengan adanya pernikahan, maka perempuan mengakui laki-laki sebagai kaum mayoritas dan perempuan sebagai kaum minoritas. Hal itu memperkuat dogma dalam masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan tidak akan bisa menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki. Salah satu contoh kuatnya budaya patriarki dalam kehidupan pernikahan dapat terlihat dari beberapa kasus di bawah ini. a. Adat-Istiadat Jawa dan Hukum Agama Islam Kasus pertama dialami oleh seorang perempuan bernama Dewi. Dewi merupakan seorang janda berusia 42 tahun yang sudah memiliki tiga anak perempuan. Ia menikah dengan seorang duda berusia 50 tahun bernama Didi. Mereka berasal dari kota Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya Jawa, terutama Yogyakarta, sangat mematuhi adat-istiadat yang seiring waktu semakin kuat tertanam dalam diri masyarakatnya. Hal itulah yang diterapkan oleh Dewi. Selama hidup dengan Didi, Dewi tak mendapatkan kebebasan dalam melakukan aktivitasnya. Dimulai dari bangun tidur hingga terlelap, ia harus mengikuti satu perintah, yakni dari suaminya. Ia tidak akan makan sebelum Didi makan. Bahkan ketika perut sudah tak mampu mengeluarkan suara penderitaan, ia tetap menunggu Didi. Selain itu, ia tidak boleh keluar rumah sebelum mendapatkan izin dari suaminya. Walaupun saat itu keadaan sedang sangat genting, ia tetap menunggu izin dari suaminya. Hal lain yang lebih ekstrem adalah ia tidak akan memulai ibadah kalau suaminya belum melakukannya. Budaya patriarki yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga Dewi sangatlah kuat. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada perlawanan sedikit pun dari Dewi. Ia melakukan semuanya atas dasar kepatuhan dan disertai dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Perbuatan yang dilakukan oleh Dewi diakui sebagai suatu prinsip yang harus dijalaninya. Hal itu karena penerapan adat-istiadat yang sudah ditanamkan dalam diri Dewi oleh orang tua, keluarga dan lingkungannya di Yogyakarta. Melihat fenomena itu, terlihat sekali bahwa budaya patriarki sangat kuat kedudukannya dalam pernikahan. Kuatnya budaya patriarki didukung oleh ajaran agama Islam yang dianut oleh Dewi dan Didi. Dalam Islam, semua yang dilakukan oleh Dewi adalah suatu hal yang benar dan terpuji. Bahkan Dewi termasuk ke dalam jajaran isteri yang salehah. Akan tetapi, semua itu menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat lemah. Perempuan mengalami ketidakadilan. Kaum laki-laki dapat bebas berkeliaran, sedangkan perempuan hanya berkutat dengan aktivitas di dalam rumah. Perempuan menjadi sangat lemah karena terikat oleh satu aturan. Akibat sistem patriarki, perempuan tidak memiliki ruang gerak sendiri untuk menuangkan gagasan-gagasannya dalam berekspresi. b. Pelecehan Seksual dan Perceraian Selain fenomena pernikahan Dewi, terdapat satu kasus yang sangat berbeda dengan Dewi. Kasus ini dialami oleh seorang perempuan bernama Lala. Gadis asal Bogor ini telah mengalami pelecehan seksual ketika usianya baru menginjak angka 17 tahun. Pelecehan seksual itu dilakukan oleh pacarnya sendiri yang sudah berpacaran selama 4 tahun dengan Lala. Saat itu mereka akan menghadapi UN, sedangkan Lala sedang mengandung janin dari pacarnya yang bernama Doni. Setelah lulus sekolah, Lala mengakui pelecehan seksual yang dialaminya kepada keluarganya. Mereka pun akhirnya dinikahkan. Walaupun tak semudah yang diperkirakan, karena sebelum pengakuan itu Lala harus mengalami tekanan batin yang sangat besar. Perutnya yang semakin membesar dan sekolah yang sebentar lagi akan selesai membuatnya selalu was-was menyaksikan perubahan pada tubuhnya. Setelah Lala mengaku pun, pihak keluarga tak serta-merta menerima semua kenyataan itu. Psikologi Lala semakin menurun ketika desakan dari berbagai pihak mengancam jiwanya yang sudah rapuh. Akan tetapi, akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk menikahkan mereka. Selama pernikahan mereka, bukan kebahagiaan yang mereka dapatkan, tetapi pertengkaran yang tak jarang berujung kericuhan. Sejak pernikahan itu terjadi, Lala baru mengetahui keculasan yang tertanam dalam diri Doni. Selama mereka menikah, Doni memperlakukan Lala dengan tidak adil. Ia bahkan berselingkuh di belakang Lala sejak awal pernikahan mereka. Setelah dua tahun pernikahan mereka, akhirnya Lala pun mengetahui perselingkuhan Doni dan mengajukan perceraian. Sejak saat itu, Lala resmi terbebas dari laki-laki yang telah merenggut masa-masa “emas”-nya dan meninggalkan trauma psikis bagi dirinya. Lala kini mendapatkan hak asuh anaknya yang sudah berusia 7 tahun. Lala membesarkan anaknya tanpa bantuan dari Doni maupun keluarganya. Bahkan Doni tidak pernah menampakkan wajahnya lagi setelah perceraian itu terjadi. Berbeda dengan kasus yang dialami oleh Dewi, dalam hal ini Lala telah mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Bahkan penderitaan itu telah mengambil masa-masa remajanya yang indah. Penderitaan yang dialami Lala dimulai ketika sebuah janin sudah tertanam dalam perutnya hingga janin tersebut lahir. Hingga saat ini pun, Lala masih bertempur dengan kehidupan yang semakin lama semakin menggerogotinya. Ia harus mencari pekerjaan untuk menafkahi anaknya dan ia harus hidup di tengah-tengah gunjingan orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, dari semua penderitaan yang dialaminya, ia telah melakukan perlawanan yang tepat dengan mengajukan perceraian kepada suaminya. Tokoh-tokoh di atas adalah salah satu kasus dari sekian banyaknya kasus yang terjadi dalam masyarakat ini dengan menjadikan perempuan sebagai korban. Banyak sekali perempuan yang belum dapat menikmati nafas Kartini dalam kehidupannya. Banyak sekali perempuan yang masih hidup dalam bayang-bayang adat-istiadat, dan budaya patriarki yang entah sampai kapan akan berhenti mengikat kebebasan perempuan untuk berekspresi. Diperlukan suatu usaha yang ekstra untuk dapat mewujudkan perjuangan Kartini serta para pejuang perempuan lainnya selama ini. Itu semua harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita sebagai perempuan harus mampu menempatkan diri di mana pun kita berada dan selalu bersikap gesit, kreatif, dan berani menyumbangkan ide-ide cemerlang yang dimiliki. Kaum perempuan harus mulai melepaskan sehelai demi sehelai “pakaian adat-istiadat” yang sudah dipakai berabad-abad. Sudah saatnya perempuan menggunakan pakaian yang lebih segar. Pakaian yang memiliki ruang kebebasan untuk menampung ratusan, ribuan, jutaan, bahkan miliyaran ide yang siap untuk diledakkan. Pakaian baru itu dibuat atas dasar “perempuan dan laki-laki” yang duduk dalam satu wacana keadilan. *) Identitas tokoh dalam penelitian ini bukanlah identitas sebenarnya. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik mereka yang telah menjadi produk patriarki dalam masyarakat Indonesia. Daftar Rujukan Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1965. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera. Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo.