Aku terlahir sebagai perempuan dengan segala kekurangan yang terlalu lama mengendap dalam diri. Kini aku mencoba berbagi atas segala kisah yang sempat hinggap dan takkunjung pergi ataupun yang hanya bersinggah kemudian berlalu.
Rabu, 20 Agustus 2014
ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI KARYA OKA RUSMINI DENGAN PENDEKATAN FEMINISME
ANALISIS NOVEL TARIAN BUMI
KARYA OKA RUSMINI
DENGAN PENDEKATAN FEMINISME
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh sistem kasta dan budaya patriarki, terutama terhadap kaum perempuan yang ada di agama Hindu dalam masyarakat Bali. Permasalahan tersebut, salah satunya terdapat dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Metode yang akan digunakan dalam menganalisis novel ini adalah teori pendekatan feminisme. Novel ini menceritakan mengenai posisi perempuan yang merasakan ketidakadilan atas sistem kasta dan adat-istiadat yang sangat kental dalam agama Hindu di masyarakat Bali. Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini merupakan sosok-sosok yang memiliki mimpi sehingga mereka berani bertindak unuk mewujudkan impian-impian mereka, salah satunya dengan melakukan pemberontakan terhadap sistem-sistem yang telah menindas kaum perempuan. Di balik impian-impian tersebut, terdapat konsekuensi atau akibat-akibat yang tidak terduga yang harus diterima oleh masing-masing tokoh dalam novel ini.
Kata Kunci: Adat-Istiadat, Bali, Feminisme, Hindu, Kasta, Patriarki.
1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah perpaduan antara hasil imajinasi seorang sastrawan dengan kehidupan secara faktual. Karya sastra jelas dihasilkan oleh seorang penulis, tetapi penulis itu sendiri adalah wakil masyarakat. Saat penulis menghasilkan suatu karya sastra, maka karya sastra itu merupakan cerminan masyarakat. Salah satu hasil karya sastra yang dibuat oleh masyarakat adalah novel. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:694) Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dalam pembuatan suatu karya sastra berupa novel, terdapat unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur intrinsik terdiri atas tema, alur (plot), latar (setting), tokoh, penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik terdiri atas sosial, budaya, agama, dan sebagainya.
Hasil karya sastra berupa novel yang akan di analisis adalah hasil karya seorang sastrawan perempuan bernama Oka Rusmini dengan novelnya yang berjudul Tarian Bumi. Oka rusmini adalah seorang penulis yang sudah beberapa kali memenangkan sayembara penulisan cerpen dan roman, juga dikenal sebagai penyair. Ia dilahirkan di Jakarta, 11 Juli 1967 dari keluarga bangsawan Bali, namun tulisannya justru banyak yang mempertanyakan kondisi dan tata sosial berdasarkan kasta. Karya-karyanya banyak memperoleh penghargaan. Salah satunya penghargaan yang diberikan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia sebagai “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” atas novelnya, Tarian Bumi.
Banyak sekali hal-hal yang menarik dalam novel ini. Pertama, novel ini ditulis oleh seorang penulis perempuan. Kedua, tema yang digunakan mengenai posisi perempuan dalam masyarakat Hindu di Bali. Ketiga, sangat sedikit jumlah penulis yang mengangkat tema mengenai kultur Bali tersebut, apalagi ditulis oleh seorang penulis perempuan. Oleh karena itu, saya tertarik unutk melakukan penelitian terhadap novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.
Di dalam novel ini menceritakan mengenai permasalahan kasta, budaya patriarki, dan adat-istiadat yang mendukung perilaku laki-laki dalam merugikan posisi perempuan. Sosok-sosok perempuan dalam novel ini selalu merasakan penindasan dan sakit hati atas perilaku laki-laki yang senantiasa menganggap perempuan hanya sekadar pemuas nafsu birahi mereka. Perbuatan laki-laki itu juga didukung oleh sistem kasta, budaya patriarki, dan adat-istiadat yang sangat melekat dalam tubuh masyarakatnya. Sehingga, mereka dapat melakukan penindasan-penindasan terhadap kaum perempuan secara leluasa tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah.
Rasa ketidakadilan dan sakit hati yang selalu dirasakan oleh kaum perempuan tersebut, menjadi landasan yang menguatkan saya untuk menggunakan pendekatan feminisme dalam menganalisis novel ini.
1.1 Landasan Teori
Pendekatan feminisme mulai muncul pada abad ke 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Menurut Teeuw (naskah belum diterbitkan), beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia Barat tersebut, sebagai berikut:
1. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
2. Radikalisasi politik,khususnya sebagai akibat perang Vietnam.
3. Lahirnya gerakan pembebasan dari ikatan-ikatan tradisional, misalnya ikatan gereja, ikatan kulit hitam Amerika, ikatan mahasiswa, dan sebagainya.
4. Sekularisasi, menurunnya wibawa agama dalam segala bidang kehidupan.
5. Perkembangan pendidikan yang secara khusus dinikmati oleh perempuan.
6. Reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan strukturturalisme.
7. Ketidakpuasan terhadap teori dan praktik ideology. Marx is orthodoks, tidak terbatas sebagai Marxis Sovyet atau Cina, tetapi Marxis di dunia Barat secara keseluruhan.
Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam pengertian sempit, yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi.
Dalam masyarakat patriarkhat, anak laki-laki merupakan harapan, maka secara langsung akan mengkondisikan superioritas laki-laki. Kodrat perempuan dalam mengandung dan melahirkan, secara kultural diharuskan untuk memeliharanya, yang pada gilirannya akan mengurangi sifat agresif, sebaliknya menumbuhkan sifat pasif, lemah lembut, dan sebagainya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa perempuan dibedakan secara kultural, bukan hakikat. Perbedaan sebagai akibat sistem kebudayaan, ini tampak jelas dengan adanya bahasa sebab bahasa merupakan kebudayaan, bukan kodrat.
Kaum perempuan melalui gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya.
Dalam novel ini, akan menggunakan pendekatan feminisme untuk meneliti posisi perempuan dalam menghadapi sistem kasta dan adat-istiadat yang sudah melekat dalam masyarakat tempat tinggalnya. Pendekatan tersebut dipilih untuk mengetahui perbedaan sikap dan pola pikir antara tokoh-tokoh perempuan mengenai impian-impian yang dimiliki dan cara mewujudkannya yang berbeda pula.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak terlepas dari pengaruh luar yang ada di sekitar tokoh., seperti adat-istiadat, sistem kasta, dan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat di setiap masyarakat tempat tinggalnya. Pengaruh-pengaruh itulah yang menjadikan salah satu penghalang tokoh-tokoh perempuan untuk mendapatkan kebahagiaan selama hidupnya.
2 Analisis Novel
2.1 Sistem Kasta dan Adat Istiadat di Bali
Kasta adalah sebuah kata yang sakti dan mampu membuat perselisihan di antara kerabat. Perjalanannya hingga sekarang di Bali masih dirasakan ada, karena ada golongan-golongan tertentu yang tetap mempertahankan feodalisme kaum-kaum ningrat yang dikategorikan darah biru. Kasta dapat menjadi salah satu faktor terjadinya sebuah penindasan terhadap kaum perempuan.
Kasta, oleh Prof. I Gusti Ngurah Bagus dibagi menjadi empat yang lebih dikenal dengan Catur Wangsa yaitu Brahmana (golongan bramana), Ksatria (golongan ksatria), Wesia (golongan pedagang), dan Sudra (golongan budak atau buruh rendahan). Mereka yang berada pada strata yang lebih rendah selalu dipinggirkan dalam berbagai macam urusan karena dianggap orang yang tidak penting. Namun tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial kalau pada nantinya semua berbaur menjadi satu dalam bermasyarakat. Cinta bisa tumbuh di mana saja oleh siapa saja tidak memandang kedudukan dan fungsi masing-masing orang.
Seorang perempuan berkasta tinggi apabila menikah dengan seorang laki-laki berkasta rendah, akan menjadi aib bagi keluarga sudra dan akan dikucilkan oleh keluarga griya. Sebaliknya, perempuan berkasta rendah yang menikah dengan lelaki yang berkasta tinggi harus berusaha untuk membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan yang ada dalam keluarga griya. Seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya, harus berganti nama menjadi “Jero”. Perempuan tersebut juga harus berprilaku seperti bangsawan tulen dalam keluarganya. Sedangkan dalam keluarga besar suaminya, harus berbahasa halus dengan orang-orang griya. Ia tidak boleh minum susu satu gelas dengan anak kandungnya. Tidak boleh memberikan makanan sisa makanannya pada orang-orang griya, termasuk anak yang dilahirkannya.
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini memiliki latar belakang yang sangat dipengaruhi oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sudah melekat dalam tubuh masyarakatnya. Adat-istiadat yang kental juga memiliki pengaruh besar terhadap para tokoh dalam menjalani kehidupannya. Konsekuensi dari mimpi-mimpi yang di ambil para tokoh perempuan merupakan salah satu faktor yang disebabkan oleh sistem dan adat tersebut.
2.1.1 Tokoh Utama Bernama Ida Ayu Telaga Pidada
Tokoh utama dalam novel Tarian Bumi bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Terdapat gelar “Ida Ayu” di depan namanya, karena Telaga terlahir sebagai seorang perempuan brahmana walaupun dilahirkan dari rahim seorang perempuan sudra. Kisah hidupnya banyak dipengaruhi oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sangat melekat dalam darah masyarakat tempat tinggalnya. Dalam proses pembentukannya sebagai seorang perempuan, terdapat tiga sosok perempuan yang sangat berperan penting, di antaranya adalah Ni Luh Sekar (Ibu Telaga), Ida Ayu Sagra Pidada (Nenek Telaga), dan Ni Luh Kambren (Guru Tari Telaga).
Telaga sebagai tokoh utama digambarkan sebagai seorang perempuan yang cantik, kaya, dan baik hati. Tokoh perempuan bernama Telaga ini, memiliki suatu keberanian yang luar biasa untuk menggapai cintanya. Dia berani memberontak dan melawan adat yang ada di lingkungannya dengan menikahi lelaki dari kasta lebih rendah. Keputusan yang Telaga pilih, membuatnya harus melepaskan segala hal yang dimilikinya. Telaga harus merelakan nama Ida Ayu yang telah diberikan hidup padanya untuk dilepaskan dan berganti menjadi seorang perempuan sudra yang sesungguhnya.
Kemampuan Telaga dalam menjalani kehidupannya setelah berubah menjadi seorang perempuan sudra yang sesungguhnya, membuatnya menjadi perempuan yang tegar dan kuat. Seperti dalam kutipan berikut. “... Telaga juga berani kawin dengan Wayan. Dan sampai hari ini dia tetap bertahan.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 203) Telaga hanya bisa berdiam diri karena menyadari bahwa inilah konsekuensi yang telah dia pilih.
2.1.2 Tokoh Bernama Ni Luh sekar
Kehidupan Sekar tidak pernah terlepas dari butir-butir penderitaan. Lingkungan, sistem, dan adat-istiadat yang ada di masyarakat sekitarnya turut memengaruhi Sekar dalam menjalani kehidupan yang dilalui. Sekar dilahirkan dari keluarga sudra yang miskin dan dikucilkan oleh warga desa tempat tinggalnya. Hal tersebut terjadi, karena ayahnya yang telah pergi dari rumah merupakan bekas anggota PKI yang konon-menurut para warga desa-ikut dalam pembantaian tempat tinggalnya. Sekar yang menginginkan terlepas dari belenggu kemiskinan dan penghinaan warga desanya, membuatnya berambisi untuk menjadi seorang pragina tari dan menjadi seorang perempuan brahmana.
Sekar adalah seorang perempuan keras kepala dan egois. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “perempuan itu selalu tidak pernah mengalah. Apa pun yang di anggapnya benar harus jadi kebenaran juga untuk orang lain.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 154-155) Tak ada satu pun orang yang mampu menghalangi keinginannya. Segala usaha yang dilakukan untuk menggapai impian-impiannya tersebut, membuatnya harus merelakan kebahagiaan yang dimiliki terlepas dan digantikan dengan penderitaan yang sangat berat. Sekar harus berganti nama menjadi “Jero Kenanga” dan harus melepaskan kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Dia juga harus meninggalkan Luh Dalem (Ibu sekar), dan Luh Kenten (Sahabat Sekar).
Tokoh-tokoh perempuan dalam kehidupan Sekar merasakan penderitaan yang serupa dengan yang dialaminya. Luh Dalem-Ibu Sekar-mengalami kebutaan akibat dirampok dan diperkosa. Sedangkan Luh Kenten-Sahabat Sekar-bertekad untuk tidak menikah karena rasa cintanya yang teramat besar terhadap Sekar yang salah satunya disebabkan oleh rasa bencinya terhadap laki-laki. Tokoh-tokoh ini turut memengaruhi Sekar dalam menjalani kehidupannya.
2.1.3 Tokoh Bernama Ida Ayu Sagra Pidada
Sagra merupakan perempuan brahmana yang sangat memegang teguh nilai-nilai kebangsawanan dalam keluarganya. Seperti terlihat pada kutipan berikut. “... tuniang-mu adalah perempuan paling lugu. Baginya cinta itu sangat sakral. Dia juga sangat mengagungkan nilai-nilai kebangsawanan.” (Novel Tarian Bumi: Halaman 23)
Sagra sangat tidak bisa menerima apabila ada pernikahan antara laki-laki brahmana dengan perempuan sudra. Oleh karena itu, dia sangat kecewa saat mengetahui bahwa anaknya-Ida Bagus Ngurah Pidada-menikah dengan perempuan sudra yaitu Ni Luh Sekar. Terutama ketika dia mengetahui bahwa suami yang sangat dicintai namun mengacuhkannya berselingkuh dengan perempuan sudra.
Penderitaan yang dirasakan Sagra tidak terlepas dari akibat rasa cinta yang teramat dalam terhadap suaminya. Tingkah laku suaminya-Ida Bagus Tugur-yang selalu mengacuhkan Sagra, membuatnya semakin terluka dan tersiksa. Terlebih lagi kebiasaan-kebiasaan buruk anak laki-lakinya yang selalu membuatnya kecewa dan pada akhirnya mati di tempat pelacuran dalam keadaan telanjang dengan tubuh penuh tusukan.
2.1.4 Tokoh Bernama Ni Luh Kambren
Kambren turut berperan dalam pembentukan Telaga sebagai seorang perempuan. Ia adalah guru tari Telaga yang banyak memberikan pelajaran dan pemahaman mengenai tari terhadap Telaga. Caranya untuk menunjukkan rasa cintanya terhadap tari adalah dengan tidak menikah sampai seumur hidupnya. Seperti terlihat pada kutipan “Hidupku hanya untuk menari!” merupakan kata-kata yang selalu diungkapkan Kambren kepada Telaga.
Tindakan Kambren untuk tidak menikah adalah salah satu tindakan berani yang telah dia pilih. Kambren telah siap atas segala konsekuensi yang akan terjadi pada dirinya. Tokoh perempuan yang satu ini berani menyerahkan seluruh hidup dan waktunya hanya untuk menari. Inilah mimpi yang Kambren pilih, yang baginya dapat memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Walaupun pada akhirnya dia harus hidup di rumah yang sangat kecil dan kumuh. Keputusan ini tidak membuatnya menyesal sampai ajal menjemputnya.
KESIMPULAN
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini memiliki mimpi-mimpi dalam kehidupannya. Novel ini menceritakan mengenai perempuan-perempuan yang bermimpi dan berkehendak. Dalam meraih impian-impiannya, mereka berani melakukan segala hal. Walaupun akibat dari tindakannya, mereka harus menanggung konsekuensi yang sangat berat. Salah satu konsekuensi itu, dipengaruhi pula oleh sistem kasta dan budaya patriarki yang sangat kental dalam masyarakat tempat tinggalnya.
Sistem kasta yang sudah sangat melekat di agama Hindu dalam masyarakat Bali, membuat posisi perempuan terasa sulit dan selalu dirugikan. Diperkuat dengan budaya patriarki yang sudah mengakar dan bercampur dengan sistem kasta tersebut, sehingga semakin mempersulit posisi perempuan dalam menjalankan kehidupannya.
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel ini selalu merasakan ketidakadilan atas sistem kasta yang ada di agama Hindu dalam masyarakat Bali. Perempuan berkasta tinggi, tidak boleh menikah dengan laki-laki dari kasta rendah. Hal tersebut akan menjadi aib bagi keluarga sudra dan akan dikucilkan oleh keluarga griya. Seperti yang terjadi pada tokoh utama dalam novel ini. Demi cintanya yag teramat besar kepada seorang laki-laki yang berasal dari kasta sudra, membuatnya harus memberontak dengan segala peraturan yang ada di keluarganya. Demi impian dan pilihannya, Telaga dikucilkan oleh keluarga griya dan dianggap membawa kesialan bagi keluarga sudra.
Tokoh Sekar dalam novel ini harus menerima akibat dari impian-impiannya sendiri. Demi ambisinya untuk melepaskan diri dari himpitan kemiskinan dan menaikkan derajatnya, Sekar harus melepaskan Luh Dalem (Ibu Sekar) dan Luh Kenten (Sahabat Sekar). Sekar juga harus rela mengganti namanya menjadi Jero Kenanga.
Tokoh Ida Ayu Sagra Pidada dalam novel ini rela hidup menderita demi suami yang sangat dicintainya. Dalam novel ini, terdapat pula tokoh Luh Kambren sebagai guru tari Telaga. Kambren memiliki tindakan yang berbeda dengan tokoh-tokoh perempuan lainnya yang diceritakan dalam novel ini. Kambren berani mengambil resiko untuk tidak menikah sampai ajal menjemputnya, karena rasa cintanya yang sangat besar terhadap tari.
Tokoh laki-laki dalam novel ini selalu mendapatkan peran yang buruk. Seperti pada tokoh ayah Sekar, yang konon ikut berperan dalam melakukan pemberontakan di tempat tinggalnya. Tokoh Ida Bagus Tugur, sebagai kakek Telaga, melupakan istri dan anaknya. Tokoh Ida Bagus Ngurah Pidada, sebagai suami Sekar, mati di tempat pelacuran dalam keadaan telanjang dengan tubuh di tusuk-tusuk oleh pisau. Tokoh Putu Sarma, sebagai suami Sadri, terus menggoda Telaga setelah Wayan meninggal. Hanya tokoh Wayan yang memiliki peran yang baik. Akan tetapi, dia tidak mempunyai waktu yang lama untuk membahagiakan istrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sumber Jurnal:
Jurnal Litera, Edisi 4, 2009.
Sumber Internet:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18254/4/Chapter%20II.pdf
http://indonesiatera.com/Profil/Penulis/OKA-RUSMINI/menu-id-1.html
Rosemarie Tong. 1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction. USA : Westview Press
Rosemarie.1997. Feminist Thought : A Comprehensive Introduction.USA:Westview Press
^ Kesalahan pengutipan: Tag tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tong
http://akademikaunud.wordpress.com/2009/08/28/menelisik-perkawinan-antara-cinta-dan-kasta/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar