Aku terlahir sebagai perempuan dengan segala kekurangan yang terlalu lama mengendap dalam diri. Kini aku mencoba berbagi atas segala kisah yang sempat hinggap dan takkunjung pergi ataupun yang hanya bersinggah kemudian berlalu.
Rabu, 20 Agustus 2014
KEMELUT HIDUP MAYA
Matamu terlihat sendu di balik kacamata bening berlensa tebal. Mungkinkah kau memikirkanku?
***
Malam itu aku berada di sudut kamarmu. Menyaksikan kau terlentang di atas kasurmu yang berwarna merah mawar. Kini pandanganku teralih ke wajahmu. Sebentuk wajah yang mungil dan memesona. Kau memiliki keindahan para dewi. Mungkinkah kau malaikat? Wajahmu mulai menghantui diriku. Membuyarkan pandanganku yang belum rabun. Aku ingin menyaksikan fenomena indah ketika tetes demi tetes keabadian mengalir dari sudut bibirmu yang tipis merona. Membentuk sungai kecil yang jernih dan menggairahkan. Hembusan nafas yang keluar dari kedua lubang hidungmu melantunkan desiran bidadari yang sedang bersembunyi. Kedua matamu. Kedua mata itu. Aku menyaksikan bayangan malaikat di balik sepasang mata itu.
“Benar dugaanku! Matamu memang indah. Lebih indah ketika kau melepaskan kacamata itu,” gumamku perlahan
Bulu mata itu. Menjalar bagai sepasang ulat bulu yang gemuk. Pipimu. Mengapa bisa seindah itu? Bolehkah kusentuh halusnya arsitektur ciptaan Tuhan ini? Putih menembus tulang pipimu yang elegan. Merah melapisi tekstur yang terlihat semakin sempurna.
“Ah, indahnya!” takjubku tak terkendali
Kusaksikan mahakarya yang terdampar ke dunia nyata kini ada di hadapanku. Tubuhnya yang padat berisi menunjukkan kemolekan dirinya. Ditambah dengan selembar kain tipis yang menyelimuti tubuhnya. Semakin menarik birahi yang kian menanah. Kumulai melangkah menghampirimu. Beranjak dari satu sisi ke sisi yang lain. Betapa sulit tuk mendekatimu. Padahal jarak kita hanya beberapa meter. Apakah kau tak sudi kudekati?
Aku tersentak kaget melihat kau membuka mata indahmu. Sepasang mata yang senantiasa membuatku mati kaku. Kini melihatku dengan sorotan yang lembut. Dalam keadaan terlentang dengan posisi yang ingin “kupaku”.
“Ah, aku akan gila,” pikirku kala itu
Aku terbelalak mendengar lengkingan suara yang merusak gendang telingaku. Menghancurkan mimpi indah yang tak ingin kulepas.
“Kampret!”
***
“Mah, ayo dong cepetan! Aku dah telat nih!” teriakku dari lantai dasar
Wanita separuh baya yang sudah menampakkan keriputnya kini berjalan setengah berlari menghampiriku yang sudah kesal menunggu.
“Maaf yah sayang. Tadi mamah make-up dulu.”
Tanpa memedulikan rayuan mamah, aku beranjak dari kursi makan dan segera menyalakan mobil yang sudah disiapkan oleh mas Udin.
***
“Pagi ini aku sial sekali! Kenapa mimpiku semalam harus terganggu gara-gara alarm setan ini! Kampret bener-bener kampret!” geramku
Hari ini nasib tak berpihak padaku. Kesialan demi kesialan menyerbu bagai hantaman peluru yang tak habis-habisnya. Matahari sudah naik ke atas kepala dan aku belum menemukan dia yang aku tunggu.
“Ah, itu dia!” gumamku sembari memandangnya
“Gadis itu. Membuatku tergoda. Aku harus mendapatkannya!” batinku berjanji
***
“Ah, mamah. Selalu saja lama dandannya. Aku gak mau telat lagi. Mamah mau beasiswaku dicabut gara-gara suka telat? Aku sudah dapat 2 kali peringatan nih,” keluhku pada mamah yang duduk di sampingku
“Maaf, sayang. Mau gimana dong? Maaf yah?”
“Mamah, usaha! Mamah ngertiin aku donk!” ujarku dengan penekanan di akhir kalimat
Saat ini aku berada di mobil dalam perjalanan mengantar mamah ke tempatnya bekerja. Tempat yang sudah menjadi mata pencahariannya selama ini. Hidup kami menjadi lebih berat ketika guardian angel dalam keluarga kami kembali ke surga. Sejak saat itu kami berusaha keras untuk melanjutkan hidup. Kuliahku aku biayai dari beasiswa yang kudapat setiap semesternya. Untuk itu, aku harus sangat berhemat demi meluluskan pendidikanku. Usai kuliah aku juga harus melancong ke daerah Jakarta pusat untuk menjadi seorang waiters di salah satu restoran kecil di tengah kota.
“Maya,” ucap mamah suatu hari
“Ada apa mamah?” tanyaku sembari menghentikan aktivitasku di depan komputer
“Kamu gak cape? Pagi-pagi sudah rapi langsung ke kampus dan setelah itu bekerja sampai larut malam. Bahkan terkadang kamu sampai gak tidur untuk ngerjain tugas kuliah kamu.”
Ucapan mamah tiba-tiba terhenti. Aku menatap lekat wajah wanita separuh baya di depanku. Pipinya mulai menampakkan keriput. Matanya terlihat letih yang menggambarkan kerasnya kehidupan yang dilalui. Tiba-tiba sebening air suci mengalir dari kedua bola matanya yang mulai merabun. Aku kaget melihat air mata itu. Sudah lama aku tak melihat mamah menangis. Sudah lama sejak hari itu. Air mata yang mengalir deras ketika menerima telepon dari suara khas perokok di kala matahari mulai menghilang. Kepergian papah yang tanpa diduga karena serangan jantung dalam perjalanan pulang menuju rumah, meninggalkan seberkas kenangan yang mendalam. Kini wanita yang teramat kucinta menangis di hadapanku. Tanpa kutahu apa penyebabnya. Apa yang harus kulakukan?
“Maya, mamah teringat papah,” ucapnya menerawang
Aku tersentak. Sudah lama sekali mamah tak pernah membahas papah. “Papah sudah tenang di surga, mah. Jangan buat papah menangis karena kita,” ucapku menenangkan
“Terima kasih kamu selalu menjaga mamah, nak.”
***
Kusapa gadis pujaan hatiku. Entah apa yang membuatku harus jatuh cinta pada gadis ini.
“Hai, May?” sapaku lembut
Gadis itu berlalu meninggalkanku tanpa melirik sedetikpun. Begitu bencikah dia padaku?
***
“May, ada yang nyari tuh!” ujar teman sekelasku usai pelajaran selesai
Aku melirik sekilas ke arah temanku. “Ah, cowok itu lagi!” geramku perlahan
Aku malas beranjak dari kursiku sekarang. Aku harus menyelesaikan tugas yang baru diberikan Pak Maryo. Usai ini aku harus bekerja.
“Maya,”
Aku mendengar suara yang tak asing di telingaku. Enggan sekali mengangkat wajah ini hanya untuk memandang laki-laki yang tak pantas berbicara denganku.
“May, aku lagi ngomong sama kamu. Betapa sulitnya untuk mendengar suaramu. Apakah sulit bagimu menatapku? Apakah sulit bagimu untuk berbicara denganku?”
“Suara kau benar-benar mengganggu!”
Sepertinya ia terkejut mendengar ucapanku.
“Oh, jadi selama ini kau pikir aku mengganggumu? Aku tak pernah ingin mengganggummu. Tapi hatiku selalu ingin menghampirimu. Apakah kau tahu betapa sulitnya kubernafas karena tak bisa melihat wajahmu? Apakah kau tahu betapa sulitnya kuterpejam karena bayangmu selalu muncul dalam benakku?” ucapnya seperti meratapi diri
Aku terkejut mendengar laki-laki bernama Gio mengungkapkan isi hatinya. Tidak mungkin aku menerima cintanya. Ia adalah kelinci di kampus ini. Kata-kata ini pasti sering terlontar untuk gadis-gadis yang lain.
“Kenapa kau diam saja? Kau tak percaya padaku?”
“Sudah selesaikah kau bicara? Aku harus menyelesaikan semua kerjaanku. Masih banyak yang harus kulakukan dibandingkan mendengarkan ocehanmu
***
“Aku tak percaya gadis itu menolakku mentah-mentah. Dia hanya gadis biasa. Kenapa dia berani menolakku? Damn!”
Kusaksikan langkahnya yang berlalu meningalkanku. Aku hanya tertawa melihat kebodohanku memohon cinta.
***
Teman-temanku menertawakanku ketika aku menyatakan ingin menggaet Maya, seorang gadis yang terkenal cerdas namun sangat dingin. Bahkan temannya dapat dihitung dengan jari. Tapi aku bertekad untuk mendapatkannya dan menjatuhkannya ke dasar dunia yang paling dasar.
***
Sudah hampir setahun ini aku mencoba untuk mendekatinya. Tapi tak sedikitpun jawaban positif yang terucap dari dirinya. Bahkan sampai sekarang semuanya sama, tak ada kemajuan. Semua yang kukatakan benar adanya. Aku tak berbohong sembarang kata pun. Sejak usahaku yang getol untuk mendekatinya, aku memang sudah menembangkan api asmara. Entah sejak kapan. Tak ada yang pasti. Tapi aku mengakui perjuangan dan kemandiriannya selama ini. Aku mengaguminya dan mulai mencintainya.
***
“Aku masih membayangkan ucapannya tadi. Benarkah dia mencintaiku? Benarkah semua ucapannya padaku? Usahanya begitu keras mendekatiku. Apakah aku harus luluh begitu saja? Dia kelinci!” gumamku menyadarkan
Kini aku sedang berada di tempat kerjaanku. Membayangkan dirinya menarik ulur hatiku. Memberikan seonggok cinta yang tak tampak. Apakah harus ku memercayainya? Apakah harus ku menerimanya? Bayangan dirinya kini semakin melekat di dalam diriku.
“May, ada surat untukmu,” ucap temanku menyodorkan sebuah amplop merah merona bergambarkan sepasang merpati
Kubuka perekat yang menutup amplop ini. Perlahan kubuka isi amplop ini dan kurasakan aliran darahku berhenti seketika. Terdapat fotonya yang tersenyum simpul memandangku. Di bawahnya tertera sebuah tulisan, “tunggu aku. Aku akan menjemputmu malam ini!”
***
Sudah hampir sejam aku menunggunya di sini. Entah apa yang membuatku terus menunggunya. Padahal tadi siang aku telah mengacuhkannya. Apakah ia hanya menipuku? Mulai kulangkahkan kakiku meninggalkan tempatku berdiri. Ketiku itu, kurasakan punggungku hangat. Sepasang tangan kekar sedang memeluk tubuhku erat. Bahkan aku tak mampu bernafas dibuatnya.
“Jangan bergerak,” ucapnya setengah berbisik di telingaku
Aku tahu suara ini. Lelaki yang baru beberapa jam lalu telah kusakiti. Lelaki yang sudah berbulan-bulan mengejarku. Lelaki yang senantiasa menjagaku dari kejauhan. Bisikannya menghantam detakan jantungku. Dekapannya membekukan gerak tubuhku. Aku tak bisa bergerak. Bahkan tak mampu mengelak.
“Terimakasih sudah mau menungguku.”
Kini ia membalikkan tubuhku. Aku hanya menunduk tak berniat mengangkat wajahku. Mungkin bukan tak berniat tapi aku tak memiliki keberanian untuk menatap wajahnya. Sepasang mata elang yang siap melahapku kapan pun ia mau kini berada beberapa cm di depanku. Apa yang akan ia lakukan padaku?
“Kenapa kau tak mau menatapku?”
Perlahan ia memegang daguku dan memaksaku secara lembut menatap wajahnya. Wajah itu. Kini ku mampu melihatnya. Perlahan ia dekapkan tangannya yang lepas ke pinggangku yang mungil. Ia mulai melakukannya. Ia mendekatkan wajahku degan wajahnya bahkan sudah semakin dekat. Hanya 5 cm. Kurasakan hidung kami bersautan. Kuhirup udara yang berhembus dari kedua lubang hidungnya. Kurasakan tangannya semakin erat mendekap tubuhku. Kini kurasakan bibirnya memaut bibirku. Terasa panas. Menggairahkan. Gio semakin lincah memainkan bibirku. Bahkan kini ia beralih memaut lidahku. Terasa nikmat dan menggoda. Pertama kali kurasakan kenikmataan yang luar biasa.
***
Aku menunggu ia menyelesaikan pekerjaannya. Di sini sudah sangat sepi. Ia memang selesai kerja larut malam. Kini sudah puku 01.05. Sudah sejam aku berdiri di sini. Dia belum juga keluar. Kemanakah engkau wahai pujaan hatiku?
“Ah, itu dia!”
Aku tak langsung menghampirinya ketika dia keluar dari restoran. Aku menunggu. Mencoba menunggunya.
Sudah hampir sejam dia berdiri di sana. Apakah ia akan tetap menungguku? Apakah berarti dia mencintaiku?
“Ah, dia pergi!”
Aku mulai melangkah mengikuti jejak lagkahnya. Tanpa ragu kudekap punggung wanita yang kucinta. Aku tak ragu. Aku merasa bahwa ia membalas cintaku. Lama kudekap ia erat. Kini ku ingin menatap wajahnya. Aku igin melihatnya sekali saja menatapku. Aku ingin merasakan tatapan dan hembusan yang terunus dari kedua mata dan nafasnya. Aku ingin merasakan manisnya bibirnya yang merona. Aku ingin melakukan permainan yang tak biasa kulakukan dengan gadis-gadis murahan lainnya. Aku hanya ingin melakukannnya dengan gadis pujaan hatiku. Engkau, Maya. Hanya kamu.
2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar