Aku terlahir sebagai perempuan dengan segala kekurangan yang terlalu lama mengendap dalam diri. Kini aku mencoba berbagi atas segala kisah yang sempat hinggap dan takkunjung pergi ataupun yang hanya bersinggah kemudian berlalu.
Rabu, 20 Agustus 2014
MORAL DI UJUNG TAHTA
Langit mulai gelap ketika sepasang mata menatapku dari kejauhan. Kurasakan getaran hebat di sekujur tubuhku ketika sepasang mata itu mulai merayap perlahan menghampiriku. Aku terpaku. Tak mampu kugerakkan kakiku yang melekat erat di atas aspal yang mulai mengelupas. Perlahan sorotan itu semakin garang menatapku. Senyumnya mengembang di antara dua taringnya yang menganga. Kulihat banyak sekali ular mengelilingi tubuhnya. Yang paling besar, ku rasa pemimpinnya, menggelayut di kepalanya yang penuh dengan makanan yang busuk. Sedangkan yang lain mengelilingi tubuhnya dari bahu hingga kaki. Ingin ku teriak dan terbebas dari pemilik mata yang hendak menerkamku. Tapi mulutku kelu. Tanganku kaku. Aku merasa sesak. Tak mampu kulesatkan sepatah kata yang mampu membebaskanku dari sorotan mata itu. Tak mampu kukedipkan mataku sembarang menajamkan tatapanku. Apakah benar mata itu menatapku? Atau hanya menumpang sekilas untuk menatap orang di sekitarku. Tapi mengapa mata itu terus menghujamku? Aku yakin bahwa mata itu hanya menatapku. Menatapku yang berada di antara tumpukkan sampah yang menyibakkan bau anyir tak terkendali.
“Selamatkan aku Tuhan,” rintihku dalam hati
***
Angin malam mulai garang menguliti tubuhku yang hanya dibalut sehelai kain tembus pandang. Tampak dua payudaraku yang menonjolkan dua sisi yang berbeda. Sisi yang mencerminkan kehidupanku yang corat-marut. Kehidupanku yang penuh kedengkian. Payudaraku menjadi saksi perubahan manusia di sekitarku. Bentuknya yang berbeda menjadi potret ketimpangan negeriku. Terlihat sekali ketika kau memperhatikan dua buntelan di dadaku yang kini tak lagi utuh. Yang satu terbongkar karena terhisap kemewahan. Dan yang satu hanya bersisa nanah termakan kilauan tahta.
“Ah, kenapa aku memilih jalan ini, Tuhan?” sesalku suatu hari meratapi diriku yang tak lebih dari seonggok daging busuk yang tak memiliki tempat
Aku kembali melihat mata itu. Kini ia sudah berada di hadapanku. Ia mulai menjamuku dengan tatapannya yang menjelma menjadi pisau. Ah, mata itu. Aku mulai mengingat pemilik mata itu. Mata yang menarikku ke dunia penuh kepalsuan. Mata yang telah menghanyutkanku ke dalam limpangan tahta tak bermoral. Mata yang telah melahapku dengan janji-janji yang kini menjadi sampah. Ia hadir kembali menyambut kemusnahan diriku. Ia kembali lagi untuk menertawakan keterkutukan yang telah kulontarkan.
“Masih hidup kau Sar?” tanya suara pemilik mata itu. Matanya sudah tak lagi menatapku. Ia berbicara sembari menempatkan posisinya di masa lalu
Aku hanya terdiam. Setelah sekian lama tak kutemukan pemilik mata ini, kini ia berada di hadapanku. Tepat setelah kebakaran itu menelan ratusan bahkan ribuan rumah kumuh di pusat kota negeriku. Ia menemukanku karena sebuah kamera televisi menampilkan diriku yang terhimpit para korban. Aku selamat. Dia menemukanku. Aku tak selamat. Dia menemukanku.
“Kenapa kau diam, Sar? Sudah lupakah kau pada diriku? Liat tubuhmu! Apa ku bilang, Kenapa kau tak mau menuruti perintahku? Bodoh! Menyesalkah kau sekarang? Pandang diriku! Aku lebih baik bahkan jauh lebih baik dibandingkan kamu! Wanita bodoh!” kata-kata itu kembali terucap dari mulutnya yang diterangi lipstik merah menyala. Warna yang cantik tapi terlihat menjijikkan ketika ia gunakan.
“Masih saja kau mengucapkannya, Ta. Apa kau merasa martabatmu lebih tinggi dariku? Apa dengan duduk di kursi itu kau mampu meninggikan martabatmu? Martabatmu bahkan lebih rendah dibandingkan tikus-tikus di selokan!” ucapku sinis menatap nanar wajahnya yang tak lagi tersenyum. Ia geram mendengar perubahanku yang tak membatu seperti dulu.
“Martabatmu sudah hilang, Ta. Bukankah selama ini kau tak memiliki martabat bahkan hati? Semuanya telah kau gadaikan demi istana emas yang kau garuk dari punggung manusia-manusia tak berdosa. Sadar kau, Ta!” lanjutku sedikit lembut di akhir kalimat.
Aku tak menyesal melepaskan kursi itu. Aku tak menyesal hidup dalam kubangan nestapa yang tak kunjung mereda. Aku tak pernah menyesali apa pun. Aku merasa bebas. Hidup dalam balutan api yang siap menerjang dan memberontak pembuat sistem yang palsu.
Mata itu kini semakin garang menatapku. Perlahan kusaksikan ia melemparkan senyuman aneh yang tak pernah kulihat seumur hidupku. Ia tertawa menawarkan dua taringnya yang kian meruncing. Dengan lembut layaknya seorang pejabat ia pun memutar tubuhnya. Ah, anggun sekali. Orang lain yang melihat pasti tak menyangka kedok busuk yang tersembunyi di balik ketiaknya yang bau busuk! Ular-ular yang menjadi pembantunya pun dengan setia mengikuti jejak majikannya. Bodoh sekali!
***
Malam semakin nanar menyembunyikan sinarnya untukku. Walaupun hanya sekadar memberi penerangan untukku berjalan. Sungguh buta dunia ini. Tak mampukah mereka mengupas secara dalam setiap hati para pemilik moral? Ah, moral. Masihkah mereka memiliki moral?
22-24 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar