Aku terlahir sebagai perempuan dengan segala kekurangan yang terlalu lama mengendap dalam diri. Kini aku mencoba berbagi atas segala kisah yang sempat hinggap dan takkunjung pergi ataupun yang hanya bersinggah kemudian berlalu.
Rabu, 20 Agustus 2014
KUTEMUKAN SURGA DALAM KEGELAPAN DUNIA
Cerita ini kumulai ketika aku berada di penghujung jalan kematian. Antara duka yang merambas semakin masuk ke igaku membuatku sesak tak mampu bernafas. Kali ini aku akan berbagi denganmu. Bercerita akan cinta dan duka kehidupan yang kualami di kegelapan malam. Semuanya kan kubukakan tanpa terhalang sedikitpun debu. Hanya untukmu.
***
Namaku Firman. Firman Pemungkas Jati. Kata orang, namaku terdengar sedikit aneh tapi nyentrik. Aku tak peduli. Kehidupanku kacau. Lebih kacau dari sebongkah puzzle yang tak teratur. Aku terlahir dari keluarga yang tak jelas karena ibuku yang seorang pelacur dengan pergaulan yang sering digauli para lelaki. Aku anak siapa? Entahlah. Sudah lama tak kupikirkan lagi sejak pertama kutanyakan pada sosok wanita yang bernama ibu.
“Bu, ayah kemana? Kenapa aku gak pernah ngeliat yah bu?” ucapku polos
“Ayahmu sudah mati! Ngapain kau bertanya tentang lelaki brengsek seperti itu? Urus dirimu sendiri!” bentak sosok wanita bernama ibu padaku
Aku yang masih berusia hampir 2 tahun tersentak akan bentakan ibu yang membahana. Tapi seiring berjalannya waktu, hal ini menjadi biasa bagiku. Tak butuh waktu lama untuk menyadarkan diriku sendiri. Sejak aku terlahir di dunia ini, wanita itu memang sering acuh padaku. Bahkan memukuliku kalau dia perlu. Tak segan-segan, aku pun di tato permanen dengan ganasnya setrikaan yang membara. Itulah dia. Wanita yang bernama ibu. Berkedok suci dibalik jilbabnya yang panjang terurai.
Kehidupanku memang sudah kacau sejak kecil. Ayahku yang entah siapa tak pernah muncul mencariku. Menyedihkan. Menyakitkan. Sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku. Aku tersenyum sendiri mengingatnya.
Waktu terus berlalu. Firman tak polos lagi seperti dulu. Hidup menciptakanku menjadi anak yang dewasa sebelum waktunya. Ketika itu usiaku baru beranjak 4 tahun. Tapi aku sudah berani memegang pisau dan golok. Memang lingkunganku yang mengajarkanku menjadi seperti ini. Jadi jangan salahkan aku. Tidak masuk akal bukan? Akupun berpikir begitu. Tapi beginilah yang terjadi padaku dan mungkin orang-orang di sekitar Anda.
“Goblok! Megang pisau tuh yang benar! Jangan mentang-mentang kau bocah. Berharap kau hah aku kasihan? Jangan harap!” bentak lelaki tua itu padaku
Aku hanya terdiam dengan menyimpan segudang amarah yang berusaha kutahan. Ketika itu usiaku sudah 4 tahun. Seharusnya usia yang menyenangkan bagi seorang anak. Aku hanya hidup dalam bayang-bayang kebahagiaan anak-anak lain yang senang berkumpul dengan keluarga, bermain-main dengan mainan pemberian orangtuanya, dan dimanja dengan perhatian yang sangat menggairahkan. Tapi aku? Hidup memang tidak mengajarkan Firman kecil untuk bermalas-malasan. Tuhan membenciku. Tuhan benci padaku bukan? Apakah anak seusiaku dulu tak boleh bahagia? Tuhan memang tak pernah memperhatikanku. Aku tersisihkan dari daftar kasih sayang yang Tuhan pegang setiap hari dan selalu ditulisnya untuk anak-anak lainnya. Jadi, jangan salahkan aku Tuhan. Apalagi sampai aku sebesar ini, aku tak pernah melakukan ritual-ritual ibadah yang kata kyai-kyai disebut dengan ibadah.
***
Kini usiaku sudah beranjak 5 tahun. Seharusnya aku melewati masa kecilku dengan bahagia. Tak sepantasnya aku mendapatkan luka yang sebegini dalamnya dari sosok yang kata orang merupakan pintu surga. Kemanakah Tuhan, wanita yang kau sebut pintu surga itu? Aku tak pernah bertemu! Aku tak tahu apa agamaku. Wanita itu tak pernah mengajariku ibadah layaknya jilbab yang senantiasa ditatanya menawan. Siapa yang menyangka kalau wanita itu pelacur? Pelacur busuk! Dia satu-satunya pelacur yang sangat kubenci di dunia ini.
Waktu bergulir sangat cepat. Kini aku berhadapan dengan sel jeruji pada saat usia 7 tahun. Di dalam sana sangat enak. Aku terbebas dari si pelacur murahan itu! Aku terbebas dari lelaki bangkotan yang memaksaku membuat pisau dan golok. Aku terbebas dari hawa-hawa iblis di sekitarku. Bagiku, tempat ini surga dunia yang kuinginkan. Makan gratis, tidur gratis, dan teman-teman yang asik.
Tak lama lagi, panasnya neraka akan menyambutku. Melahapku dalam dekapan wanita dan lelaki tua busuk! Inikah yang Kau mau? Tidak bisakah aku tinggal dalam surgaku ini? Sayang, Tuhan tak menginginkanku bahagia. Kebahagiaanku pun terenggut. Aku dipindahkan ke salah satu yayasan anak yang menampung anak-anak nakal sepertiku. Kampret! Untuk apa mereka menghancurkan surgaku? Goblok! Aku menginginkan surgaku kembali.
Firman kecil hidup dalam lubang bisa dengan pikiran yang naif. Aku merindukan surgaku kembali. Kerinduan itu terus memanggil-manggilku. Memintaku untuk kembali menghuni kesepiannya. Aku berusaha mencari cara untuk masuk ke dalam surgaku kembali. Aku mengambil sebuah pisau panjang yang mereka sebut samurai. Targetku adalah keluarga Cina di seberang jalan. Rumah yang megah dengan penghuni yang menjijikkan. Sombong dan tak berbudi! Apa mereka disebut manusia? Manusia bodoh! Untuk apa kalian hidup diberikan harta melimpah sedangkan aku dan yang lain menderita dalam balutan kemiskinan? Goblok! Kenapa Tuhan tak mampuskan saja kalian semua?
“Tuhan, kau tak akan marah padaku karena kau tak pernah memperdulikanku.” Ujarku tersenyum penuh arti
Hatiku tertawa bangga karena aku bisa melakukan apapun tanpa larangan-larangan yang memberatkan seperti yang dimiliki oleh orang-orang yang tunduk padaNya.
Malam ini akan kupuaskan panggilanmu. Akan kulumuri tubuh ini dengan darah sucimu. Aku menghadapmu. Surga.
17 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar