Aku terlahir sebagai perempuan dengan segala kekurangan yang terlalu lama mengendap dalam diri. Kini aku mencoba berbagi atas segala kisah yang sempat hinggap dan takkunjung pergi ataupun yang hanya bersinggah kemudian berlalu.
Rabu, 20 Agustus 2014
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM PERCAKAPAN ANTARA IBU A, IBU B, DAN KAKAK C DI RUMAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan oleh makhluk hidup, terutama manusia untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, bahasa dapat dikaji melalui dua cara, yakni secara internal maupun secara eksternal (Chaer, 2010: 1). Kajian bahasa secara internal dapat disebut dengan kajian mikrolinguistik, sedangkan kajian bahasa secara eksternal dapat disebut pula dengan kajian makrolinguistik.
Kajian mikrolinguistik adalah mengkaji bahasa melalui struktur linguistik atau struktur kebahasaannya, yakni dilihat dari struktur fonologi, morfologi, maupun struktur sintaksisnya. Kajian makrolinguistik lebih luas cakupannya, karena kajian ini tidak hanya menganalisis bahasa dari segi strukturnya saja, melainkan juga mengkaji bahasa dari luar bahasa itu sendiri. Apabila kita mengkaji bahasa menggunakan kajian makrolinguistik, maka kita akan dihadapkan pada pengintegrasian ilmu kebahasaan dengan ilmu lain di luar ilmu bahasa, seperti gabungan antara linguistik dan sosiologi menjadi sosiolingustik, gabungan antara linguistik dengan psikologi menjadi psikolinguistik, gabungan antara linguistik dan antropologi menjadi antropolinguistik, dan sebagainya.
Melalui kajian mikrolinguistik, maka bahasa hanya akan diteliti dari segi struktur bahasanya saja, sedangkan kita dapat melihat suatu hal yang lebih luas yang berada di luar bahasa itu sendiri dengan menggunakan kajian makrolinguistik. Kajian makrolinguistik meneliti penutur, tindak tutur, dan seluruh lapisan masyarakat pengguna bahasa. Dalam kajian makrolinguistik berupa sosiolinguistik, akan dikaji bahasa yang terdapat dalam penutur suatu masyarakat tutur. Bahkan akan kita temukan berbagai ragam dialek berdasarkan tempat asal penutur dan dalam masing-masing dialek akan kita temukan bermacam-macam tingkatan bergantung dari kelas sosialnya.
Setiap penutur bahasa memiliki verbal repertoir, yakni kemampuan berkomunikasi menggunakan semua bahasa yang dimiliki setiap orang dalam masyarakat tertentu. Verbal repertoir itu ada dua macam, yaitu yang dimiliki setiap penutur secara individual, dan yang merupakan milik masyarakat tutur secara keseluruhan (Chaer, 2010: 35). Verbal repertoir yang sering kita jumpai adalah bahasa nasional, bahasa daerah, dan sebagainya. Verbal repertoir dapat juga terlihat pada BI dan B2 seorang penutur. Bahkan tak menutup kemungkinan setiap penutur memiliki lebih dari dua bahasa.
Seperti yang kita ketahui bahwa B1 atau bahasa ibu adalah bahasa yang secara alami kita dapatkan sejak lahir akibat pengaruh dari lingkungan kita berada, sedangkan B2 adalah bahasa yang kita pelajari dan tidak didapatkan secara alami. B2 dapat dipelajari melalui pendidikan formal maupun dalam interaksi dengan masyarakat tutur yang berbeda bahasa. Misalnya, ketika Andi dilahirkan dari keluarga penutur bahasa Jawa dan ia dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Jawa, maka secara langsung akan membentuk B1 yang dimilikinya, yakni bahasa Jawa. Setelah ia memasuki jenjang pendidikan, ia akan memelajari bahasa lain, seperti bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan; dan bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa Inggris, dan sebagainya. Sejak saat itulah Andi telah memiliki B2.
Dalam masyarakat bilingual seperti masyarakat Indonesia ini, sering terjadinya tumpang tindih dalam penggunaan bahasa. Tanpa kita sadari, ketumpangtindihan bahasa itu sudah menjadi kebiasaan dan prestise tersendiri bagi masing-masing orang dalam masyarakat. Hal itu terjadi dapat disebabkan oleh fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa hampir sebagian besar penutur bahasa tidak sepenuhnya menguasai B2 yang dimilikinya. Alasan lainnya dapat disebabkan oleh tidak tersedianya padanan kosakata atau istilah tertentu dalam B2 yang ternyata dimiliki oleh B1, atau sebaliknya. Ketika menggunakan B2 berupa bahasa Indonesia, misalnya, sering dicampuradukkan dengan B1, yakni bahasa Jawa. Hal itu terjadi karena penutur tidak mengetahui padanan yang ada dalam bahasa Jawa, namun tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Fenomena seperti itu, sering kali disebut dengan campur kode. Peristiwa yang hampir serupa dengan campur kode adalah alih kode. Campur kode dan alih kode merupakan fenomena kebahasaan yang menggunakan dua variasi bahasa atau lebih dalam satu percakapan. Bedanya, campur kode merupakan penyisipan kata, frasa, klausa, idiom dari bahasa lain ke dalam satu bahasa tertentu; sedangkan alih kode merupakan pengalihan dari suatu bahasa ke bahasa lain karena berbagai faktor tertentu. Kedua istilah ini, yakni alih kode dan campur kode adalah dua fenomena yang biasanya selalu terjadi bersamaan. Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode (Chaer, 2010: 114).
Banyak sekali penutur bahasa yang tidak mengetahui istilah alih kode maupun campur kode. Bahkan sebagian besar beranggapan bahwa permasalahan itu hanyalah urusan orang bahasa, tanpa mengharapkan penjelasan yang lebih jelas lagi. Mereka tidak mau ambil pusing memikirkan suatu hal yang mereka pikir tidak akan mereka kuasai. Padahal, fenomena alih kode dan campur kode sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Fenomena alih kode dan campur kode tidak pernah terlepas dari percakapan sehari-hari, baik di rumah dengan orang tua, kakak, tetangga, maupun dengan suami atau anak; di kantor; di sekolah; dan segala tempat di muka bumi yang menggunakan bahasa. Fenomena ini pun dapat kita temukan dalam rapat-rapat internal maupun eksternal, pidato, naskah drama, karya sastra berupa cerpen, novel, dan sebagainya.
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dibutuhkan suatu penelitian yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode guna memberikan penerangan bagi masyarakat tutur mengenai istilah alih kode dan campur kode yang terjadi dalam percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan judul Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C di Rumah sebagai pijakan awal untuk mengetahui kemunculan fenomena kebahasaan tersebut dalam kegiatan bertutur manusia.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Untuk mempertegas fokus penelitian dan menetapkan isi penelitian, maka harus dirumuskan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan penelitian, dalam hal ini mengenai Alih Kode dan Campur Kode dalam Percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C di Rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang telah dirumuskan akan dicarikan jawabannya melalui penelitian. Pertanyaan penelitian ini merupakan panduan awal bagi peneliti untuk menelusuri objek yang diteliti. Pertanyaan penelitian ini juga harus sesuai dengan objek penelitiannya. Kalau berbeda, maka pertanyaan penelitian harus diubah. Adapun pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah alih kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah?
2. Bagaimanakah campur kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah?
1.3 Tujuan Penelitian
Segala sesuatu yang kita kerjakan pasti memiliki tujuan. Begitu pula halnya dengan penelitian. Sebuah penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan penelitian yang dimaksudkan di sini adalah tujuan dari penelitian itu dilakukan (Danim, 2002: 91). Tujuan yang hendak dicapai dalam melaksanakan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Alih kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah.
2. Campur kode yang terdapat dalam percakapan antara Ibu A, Ibu B, dan Kakak C yang terjadi di rumah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Percakapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 189), percakapan adalah pembicaraan; perundingan; perihal bercakap-cakap; satuan interaksi bahasa antara dua pembicara atau lebih.
Percakapan/diskusi adalah dialog antara dua orang atau lebih. Membangun komunikasi melalui bahasa lisan (melalui telepon, misalnya) dan tulisan (di chat room). Percakapan ini bersifat interaktif yaitu komunikasi secara spontan antara dua atau lebih orang. Dalam sebuah percakapan, kedua komunikan dan komunikator berinteraksi saling memberikan kontribusi dalam sebuah komunikasi lisan maupun tulisan, tidak seperti monolog. Diskusi atau percakapan sama halnya dengan berbicara dengan dua orang atau lebih. Tetapi di saat yang sama, masing-masing komunikator dan komunikan memiliki giliran dan kesempatan untuk berbicara dan yang lainnya mendengar.
Percakapan dapat berputar di sekitar satu subyek atau banyak dan dikondisikan oleh konteks. Dalam situasi informal, percakapan dapat bervariasi tanpa harus ada pengaturan yang membebani sebuah diskusi. Komunikator dan komunikan saling berdialog dan dapat mengekspresikan pandangan mereka saat berdiskusi.
2.2 Alih Kode
Appel (dalam Chaer, 2010: 107) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Hymes (dalam Chaer, 2010: 107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dell Hymes (dalam Rahardi, 2010: 24) menyatakan bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Dia juga menyebut apa yang disebut sebagai alih kode intern (internal code switching), yakni yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern (external code switching) adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dan bahasa asing.
Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain (Suwito dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 179). Alih kode dapat berupa alih kode gaya, ragam, maupun variasi-variasi bahasa yang lainnya.
Nababan (dalam Rahardi, 2010: 5) menyebutkan bahwa alih kode mencakup kejadian di mana kita beralih dari satu ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek lain, dan sebagainya.
Alih kode di dalam pengertian sempit dimaknai sebagai peralihan dari kode kebahasaan yang satu ke dalam kode kebahasaan yang lainnya. Akan tetapi, pada umumnya di dalam banyak literatur, alih kode dimaknai secara luas menjadi peralihan antarbahasa, peralihan antarkode, dan peralihan antarvarian (Suwito dalam Rahardi, 2010: 5).
Poedjosoedarmo menjelaskan bahwa seseorang sering mengganti kode bahasanya pada saat bercakap-cakap (dalam Rahardi, 2010: 24-25). Pergantian itu dapat disadari atau bahkan mungkin pula tidak disadari oleh penutur. Gejala alih kode semacam ini timbul karena faktor komponen bahasa yang bermacam-macam. Lebih lanjut dia juga menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching), yakni pergantian kode bahasa yang dipakai oleh penutur yang berlangsung sebentar atau sementara saja. Di samping itu, dia juga menyebut alih kode yang sifatnya permanen (permanent code switching), yakni peralihan bahasa yang terjadi secara permanen.
Melihat dari pemaparan beberapa ahli di atas mengenai alih kode maka dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah pengalihan suatu ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Tidak hanya dalam satu bahasa, tetapi juga alih kode dapat terjadi antarbahasa, yakni dari satu kode ke kode lainnya yang keberlangsungannya dapat dilakukan secara sadar ataupun tanpa disadari penutur, baik yang bersifat sementara maupun permanen. Berdasarkan pengalihan bahasanya, alih kode juga ada yang bersifat intern maupun ekstern. Alih kode intern adalah terjadi pengalihan bahasa antarbahasa daerah dan bahasa nasional, dan sebagainya; sedangkan alih kode ekstern terjadi apabila pengalihan bahasa terjadi antara bahasa asli dan bahasa asing.
Terjadinya alih kode disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Widjajakusumah (dalam Chaer, 2010: 112), terjadinya alih kode dari bahasa Sunda ke bahasa Indonesia adalah karena:
1. kehadiran orang ketiga;
2. perpindahan topik dari yang nonteknis ke yang teknis;
3. beralihnya suasana bicara;
4. ingin dianggap “terpelajar”;
5. ingin menjauhkan jarak;
6. menghindarkan adanya bentuk kasar dan halus dalam bahasa Sunda;
7. mengutip pembicaraan orang lain;
8. terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia;
9. mitra berbicaranya lebih mudah;
10. berada di tempat umum;
11. menunjukkan bahasa pertamanya bukan bahasa Sunda;
12. beralih media/sarana bicara.
Sedangkan penyebab alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Sunda adalah karena:
1. perginya orang ketiga;
2. topiknya beralih dari hal teknis ke hal nonteknis;
3. suasana beralih dari resmi ke tidak resmi; dari situasi kesundaan ke keindonesiaan;
4. merasa ganjil untuk tidak berbahasa Sunda dengan orang sekampung;
5. ingin mendekatkan jarak;
6. ingin beradab-adab dengan menggunakan bahasa Sunda halus, dan berakrab-akrab dengan bahasa Sunda kasar;
7. mengutip dari peristiwa bicara yang lain;
8. terpengaruh oleh lawan bicara yang berbahasa Sunda;
9. perginya generasi muda, mitra bicara lain yang lebih muda;
10. merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum;
11. ingin menunjukkan bahasa pertamanya adalah bahasa Sunda;
12. beralih bicara biasa tanpa alat-alat telepon.
2.3 Campur Kode
Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi mempunyai fungsi sendiri (Suwito dalam Wijana dan Rohmadi, 2010: 171).
Campur kode memiliki berbagai bentuk/wujud. Campur kode ada yang berwujud kata, kata ulang, kelompok kata, idiom maupun berwujud klausa.
Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia (Ashlinda: 87). Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode.
Nababan (dalam Ashlinda: 87) menjelaskan ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Thelander (dalam Chaer, 2010: 115) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri.
Fasold (dalam Chaer, 2010: 115) menyatakan bahwa campur kode terjadi apabila seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa.
Dari pemaparan para ahli mengenai batasan-batasan campur kode, maka dapat disimpulkan bahwa campur kode adalah fenomena di mana terjadinya pencampuran bahasa dengan menyisipkan bahasa daerah atau bahasa asing berupa kata, frasa, klausa, dan idiom ke dalam satu bahasa asli.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengutamakan kata-kata, dan tindakan sebagai sumber utama dalam penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif dengan menerapkan metode deskriptif. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 2003: 54). Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menggambarkan setiap fenomena yang terjadi dalam lingkungan masyarakat secara apa adanya. Dengan menggunakan metode ini, penelitian ini akan menggambarkan secara apa adanya alih kode dan campur kode yang terdapat dalam percakapan antara responden A, responden B, dan responden C yang dilakukan di rumah. Untuk menggambarkan alih kode dan campur kode dalam percakapan tersebut, maka diperlukan metode analisis untuk menganalisis seluruh kata, frasa, klausa, idiom, dan kalimat dalam dialog-dialog yang dituturkan oleh ketiga responden.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik rekaman dan studi dokumenter dalam mengumpulkan data. Teknik rekaman adalah suatu cara mendokumentasikan suatu kejadian atau fenomena berupa suara melalui alat bantu, seperti handphone, tape recorder, dan alat lainnya yang memiliki kemampuan merekam suara. Penelitian ini menggunakan teknik rekaman dengan alat bantu berupa handphone.
Studi dokumenter (documentary study) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik.
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam suatu penelitian sangat diperlukan karena untuk menemukan hasil penelitian itu sendiri. Penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif (Moleong, 2007: 10). Penelitian kualitatif tidak dimulai dari deduksi teori tetapi dimulai dari fakta empiris (Margono, 2004: 38). Peneliti terjun ke lapangan, mempelajari, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data di dalam penelitian kualitatif dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dengan demikian, temuan penelitian di lapangan yang kemudian dibentuk ke dalam bangunan teori bukan dari teori yang telah ada, melainkan dikembangkan dari data lapangan (induktif).
Miles dan Huberman (dalam Margono, 2004: 39) menyajikan dua model pokok proses analisis. Pertama, model analisis mengalir, di mana tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan/vertifikasi) dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data dan mengalir bersamaan. Kedua, model analisis interaksi, di mana komponen reduksi data dan sajian data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Setelah data terkumpul, maka tiga komponen analisis (reduksi data, sajian data, penarikan kesimpulan) berinteraksi.
Penelitian ini menggunakan dasar analisis data sebagai berikut.
1. Peneliti merekam percakapan orang lain. Percakapan yang terjadi dilakukan secara natural tanpa pemberitahuan kepada responden;
2. Peneliti mendengarkan kembali percakapan yang telah dilakukan responden melalui rekaman;
3. Peneliti mulai mempelajari fenomena apa yang terjadi dalam percakapan yang dilakukan oleh responden;
4. Setelah mengetahui bahwa percakapan yang dilakukan oleh responden memuat unsur alih kode dan campur kode, peneliti mulai mencatat sekaligus mengklasifikasikan unsur-unsur mana saja yang termasuk alih kode ataupun campur kode;
5. Kata-kata, frasa, klausa, idiom, maupun kalimat berupa dialog-dialog yang telah ditemukan, diklasifikasikan kemudian dianalisis berdasarkan konsep alih kode dan campur kode.
3.4 Sumber dan Data Penelitian
Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006: 157), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data dalam penelitian ini adalah tiga responden yang sedang melakukan percakapan. Ketiga responden itu bernama Robiatussaadiah, S.Pd.SD; Ari; dan Nurul Iman, S.Pd.SD.
Data dalam suatu penelitian sangat dibutuhkan sebagai landasan diadakannya suatu penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dialog-dialog yang dituturkan oleh ketiga responden di atas dalam percakapan ragam santai yang dilakukan di dalam rumah responden bernama Ari.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Penelitian ini dilakukan di dalam rumah, tepatnya di salah satu kampung di Cilegon, Banten pada hari Jumat, 21 Desember 2012 pukul 16:40 WIB dengan durasi waktu 3 menit 25 detik. Responden adalah dua orang perempuan bernama Atul (A), Ari (B), dan seorang lelaki bernama Iman (C). Data kedua responden adalah sebagai berikut.
Responden A
Nama : Robiatussaadiah, S.Pd.SD (Atul)
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Bahasa pertama : Jawa
Bahasa kedua : Indonesia
Status : Menikah
Profesi : Guru SD
Responden B
Nama : Ari
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 37 tahun
Bahasa pertama : Jawa
Bahasa kedua : Indonesia
Status : Menikah
Profesi : Ibu rumah tangga
Responden C
Nama : Nurul Iman, S.Pd.SD
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 22 tahun
Bahasa pertama : Jawa
Bahasa kedua : Indonesia
Status : Lajang
Profesi : Guru SD
Atul (A), Ari (B), dan Iman (C) sedang melakukan percakapan dalam rumah. Mereka sedang membicarakan seorang anak bernama Amin. B1 dari ketiga responden adalah bahasa Jawa, dan B2 mereka adalah bahasa Indonesia. Berikut isi transkrip percakapan mereka yang sudah diubah dalam bentuk tulisan.
Arie : ‘Jejorangan jeh beneran’. Hahahaha. (Bercanda malah beneran)
Iman : Tak omong sama saya, ‘Kamu tuh kalo bercanda jangan cengeng!’, kata
saya. Akhirnya kan sayanyakan timbul yah mencuat juga Ibu yah?”
Arie : Heeh.
Atul : Dikirane batur-batur mah marah kali yah? (Dikira teman-teman marah
kali yah?)
Arie : Wong kane barang dianu kok. (orang pas dilakukan)
Atul : Tapi emang bocah kuen lagi jaman kelas siji Mba kan dewekke aturan
kelas lima. (Tapi memang anak itu saat kelas satu Mba kan dia
seharusnya kelas lima)
Iman : Enem atau lima, Ibu? (Enam atau lima, Ibu?)
Atul : Lima. Jadi, ape kan? Emboh kelas lime, kelas enem yah? Setahun iku
sekolah pengene ditungguni ma tetehnya itu, Ibunya wis bosen nganter-
nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya
duduk ikut belajar yang nganter. Lah ken kesel tetehnya kan yah, tinggal
balik. Nangisnya ore liren-liren beneran. Sampe Ibu Tuti nganterakeun.
‘Yuk, pulanglah-pulanglah kamu gak usah sekolah juga gak apa-apa’.
Akhirnya diomong ‘dah nong, besok gak sekolah juga gak apa-apa, Amin
mah’. Dari situ gak sekolah-sekolah. Manjing-manjing tahun yang
berikutnya daftar baru lagi. (Lima. Jadi, apa itu? Tidak tahu kelas lima,
kelas enam ya? Setahun itu selalu ingin ditunggui sama tetehnya. Ibunya
sudah bosan nganter-nganter. Pokoknya tidak boleh ngelangkah dari
keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Tetehnya
kan kesel, akhirnya ditinggal. Nangis terus tidak berhenti-berhenti.
Sampai Ibu Tuti mengantarkan. ‘Yuk, pulanglah kamu tidak usah sekolah
juga tidak apa-apa’. Dari situ tidak sekolah-sekolah. Masuk sekolah
tahun berikutnya daftar baru lagi)
Ari : Ya Allah.
Iman : Terus tadi pagi, ‘Kak Iman, minta maaf yah. Kak Iman minta maaf yah’.
‘ngulangin lagi awas kamu!’
Ari : Udah, terus paginya gitu?
Iman : Tadi pagi.
Ari : Oh, tadi pagi?
Iman : Iyah, Ibu.
Ari : Berarti apa yah? Hahaha.
Atul : Wis tue barange mah wis tue. (Udah tua)
Ari : Barang ning kene yah nonggoni, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet ajah.
Pake sepatu itu kan. ‘Amin! Udah dibilangin sepatunya dilepas! Ini
tempat salat!’. (Di sini menunggu, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet
saja. Pakai sepatu. ‘Amin! Udah dibilang sepatunya dilepas! Ini tempat
salat!’)
Atul : Ngapani? (Ngapain?)
Ari : Jalan-jalan ning merana-merono pisan. ‘Bilangin Pak Har kamu tuh yah!
Ngeyelnya minta ampun!’ (Jalan-jalan ke sana-ke sini terus. ‘Saya
bilang Pak Har kamu tuh ya! Ngeyelnya minta ampun!)
Iman : Lucu sih orangnya, Ibu. Cuma yah gitu kalo diajak bercanda gitu.
Atul : Ngelunjak.
Iman : Heeh.
Ari : ‘Bude, tuku lelene yah Bude karo kandang-kandangnya?’ terus karo pak
Harnya, ‘emangnya Bude kamu?’ (Bude, beli lelenya ya Bude sama
kandang-kandangnya?’ terus sama Pak Harnya, ‘memangnya Bude
kamu?’)
Iman : Jadi akhirnya, kan tadinya tak cetakkin mulu kepalanya diem ajah yah
Ibu wong ketawa ajah. ‘hoh, kak Iman sombong! Kak Iman sombong!
Jelek! Jelek!’ katanya gitu. Tak kepakkin segala macem kepalanya tuh
diem ajah ibu gak ngebahas gak ngerasa kesakitan. Lah barang udah saya
cemplungin, nangis itu basah kan rambutnya ibu, rambutnya doang yang
basah sama baju sebelah sini, belakangnya ini yang basah.
4.2 Analisis Data
Percakapan dalam rumah yang dilakukan oleh respoden A, B, dan C, berjumlah 24 dialog. Percakapan dengan durasi waktu 3 menit 25 detik itu menggunakan dua bahasa, yakni bahasa ibu si penutur berupa bahasa Jawa dan bahasa kedua si penutur berupa bahasa Indonesia. Setelah mendengarkan dialog yang dilakukan oleh ketiga responden, ternyata telah terjadi alih kode dan campur kode di berbagai dialog.
Data 1
Arie : ‘Jejorangan jeh beneran’. Hahahaha. (Bercanda malah beneran)
Iman : Tak omong sama saya, ‘Kamu tuh kalo bercanda jangan cengeng!’, kata
saya. Akhirnya kan sayanyakan timbul yah mencuat juga Ibu yah?”
Arie : Heeh.
Atul : Dikirane batur-batur mah marah kali yah? (Dikira teman-teman marah
kali yah?)
Arie : Wong kane barang dianu kok. (Orang pas dilakukan)
Atul : Tapi emang bocah kuen lagi jaman kelas siji Mba kan dewekke aturan
kelas lima. (Tapi memang anak itu saat kelas satu Mba kan dia
seharusnya kelas lima)
Iman : Enem atau lima, Ibu? (Enam atau lima, Ibu?)
Atul : Lima. Jadi, ape kan? Emboh kelas lime, kelas enem yah? Setahun iku
sekolah pengene ditungguni ma tetehnya itu, Ibunya wis bosen nganter-
nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari keluar kelas itu. Pokoknya
duduk ikut belajar yang nganter. Lah ken kesel tetehnya kan yah, tinggal
balik. Nangisnya ore liren-liren beneran. Sampe Ibu Tuti nganterakeun.
‘Yuk, pulanglah-pulanglah kamu gak usah sekolah juga gak apa-apa’.
Akhirnya diomong ‘dah nong, besok gak sekolah juga gak apa-apa, Amin
mah’. Dari situ gak sekolah-sekolah. Manjing-manjing tahun yang
berikutnya daftar baru lagi. (Lima. Jadi, apa itu? Tidak tahu kelas lima,
kelas enam ya? Setahun itu selalu ingin ditunggui sama tetehnya. Ibunya
sudah bosan nganter-nganter. Pokoknya gak boleh ngelangkah dari
keluar kelas itu. Pokoknya duduk ikut belajar yang nganter. Tetehnya
kan kesel, akhrnya ditinggal. Nangis terus tidak berhenti-berhenti.
Sampai Ibu Tuti mengantarkan. ‘Yuk, pulanglah kamu tidak usah sekolah
juga tidak apa-apa’. Dari situ tidak sekolah-sekolah. Masuk sekolah
tahun berikutnya daftar baru lagi)
Ari : Ya Allah.
Percakapan di atas terdiri atas 8 dialog yang dilakukan oleh ketiga responden. Ketiga responden sedang membicarakan seorang anak bernama Amin yang memiliki sifat nakal, tetapi cengeng. Ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas lima, ia sempat putus sekolah karena tidak dapat jauh dari ibu dan kakaknya.
Dilihat dari dialog-dialog di atas, responden A dan B menggunakan bahasa Jawa dalam setiap tuturnya, sedangkan responden C menggunakan bahasa Indonesia. Baik responden A, dan B yang tetap mempertahankan bahasa ibunya dalam percakapan maupun responden C yang tidak menggunakan bahasa ibunya namun tetap menggunakan bahasa Indonesia, di antara ketiganya telah terjadi campur kode, yakni menyelipkan kata-kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Begitu juga sebaliknya. Bahkan mereka juga sering melakukan alih kode. Alih kode yang ketiga responden lakukan bersifat sementara, karena masih berubah-ubah dan berlangsung secara tidak sadar. Alih kode itu terjadi karena beberapa faktor, yakni responden mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia dan terpengaruh oleh bahasa lawan bicara. Alih kode yang dilakukan oleh ketiga responden di atas termasuk ke dalam alih kode intern, yakni pengalihan bahasa dari bahasa daerah ke bahasa nasional (baca: bahasa Indonesia) maupun sebaliknya.
Campur kode yang dilakukan oleh responden A terlihat pada dialog pertama berupa kata beneran. Campur kode yang dilakukan oleh responden B terlihat pada dialog keempat berupa kata marah; dialog keenam berupa kata lima; dialog kedelapan berupa kata lima, nangisnya, beneran, dan frasa tahun yang berikutnya daftar baru lagi. Kata-kata maupun frasa yang diucapkan oleh responden A dan responden B termasuk ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan bahasa yang digunakan mereka sebelumnya menggunakan bahasa Jawa.
Campur kode yang dilakukan oleh responden C terihat pada dialog kedua berupa kata tak; dan dialog ketujuh berupa kata enem. Bahasa ibu responden C adalah bahasa Jawa. Akan tetapi, dalam percakapan ini ia menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Karena kedua responden yang lain menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan, maka ia terihat terpancing untuk mengeluarkan bahasa Jawanya. Hal itu terlihat pada munculnya kata tak dan enem. Kedua kata itu berasal dari bahasa Jawa, tetapi diselipkan oleh responden C ke dalam bahasa Indonesia.
Selain campur kode, telah terjadi alih kode yang dilakukan oleh ketiga responden. Alih kode terlihat pada dialog kedelapan yang dilakukan oleh responden A bernama Atul. Pada mulanya, ia menggunakan bahasa Jawa dalam menuturkan cerita yang disampaikannya. Akan tetapi, bahasa Jawa yang dijadikan sebagai bahasa ibunya berpindah menjadi bahasa Indonesia pada kalimat kelima, enam, sepuluh, sebelas, dan duabelas. Pengalihan kode yang terjadi disebabkan oleh responden A hendak mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, terjadilah alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Data 2
Iman : Terus tadi pagi, ‘Kak Iman, minta maaf yah. Kak Iman, minta maaf yah’.
‘ngulangin lagi awas kamu!’
Ari : Udah, terus paginya gitu?
Iman : Tadi pagi.
Ari : Oh, tadi pagi?
Iman : Iyah, Ibu.
Ari : Berarti apa yah? Hahaha.
Atul : Wis tue barang mah wis tue. (Udah tua)
Ari : Barang ning kene yah nonggoni, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet ajah.
Pake sepatu itu kan. ‘Amin! Udah dibilangin sepatunya dilepas! Ini
tempat salat!’. (Di sini menunggu, ‘Bude, masak apa Bude?’ Cerewet
saja. Pakai sepatu. ‘Amin! Udah sibilang sepatunya dilepas! Ini tempat
salat!’)
Atul : Ngapani? (Ngapain?)
Ari : Jalan-jalan ning merana-merono pisan. ‘Bilangin Pak Har kamu tuh yah!
Ngeyelnya minta ampun!’ (Jalan-jalan ke sana-ke sini terus. ‘Saya
bilang Pak Har kamu tuh ya! Ngeyelnya minta ampun!)
Iman : Lucu sih orangnya, Ibu. Cuma yah gitu kalo diajak bercanda gitu.
Atul : Ngelunjak.
Iman : Heeh.
Ari : ‘Bude, tuku lelene yah Bude karo kandang-kandangnya?’ terus karo pak
Harnya, ‘emangnya Bude kamu?’ (Bude, beli lelenya ya Bude sama
kandang-kandangnya?’ terus sama Pak Harnya, ‘memangnya Bude
kamu?’)
Iman : Jadi akhirnya, kan tadinya tak cetakkin mulu kepalanya diem ajah yah
Ibu wong ketawa ajah. ‘hoh, kak Iman sombong! Kak Iman sombong!
Jelek! Jelek!’ katanya gitu. Tak kepakkin segala macem kepalanya tuh
diem ajah Ibu gak ngebahas gak ngerasa kesakitan. Lah barang udah saya
cemplungin, nangis itu basah kan rambutnya ibu, rambutnya doang yang
basah sama baju sebelah sini, belakangnya ini yang basah.
Percakapan di atas masih merupakan satu kesatuan dengan percakapan sebelumnya. Bahkan kedua percakapan ini masih mengangkat topik yang sama dan dilakukan dalam waktu dan tempat yang sama. Akan tetapi, fenomena campur kode tidak terlalu banyak terjadi seperti yang terjadi pada percakapan sebelumnya. Pada percakapan ini, campur kode hanya ditemukan satu kata berupa kata tak sebanyak dua kali pengucapan dalam dialog yang sama, kata wong, dan kata lah masih dalam dialog yang sama. Penggunaan kata tak, wong dan lah terlihat pada dialog kelimabelas yang dilakukan oleh responden C bernama Iman. Pada percakapan kali ini pun responden C masih bersikeras menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan bahasa ibunya. Walaupun demikian, unsur kejawaan masih melekat dalam bahasanya. Hal itu terlihat pada masuknya serpihan-serpihan kata tak, wong, dan lah dalam percakapannya yang menggunakan bahasa Indonesia.
Fenomena alih kode yang terdapat dalam percakapan ini lebih banyak dibandingkan dengan yang terjadi pada percakapan sebelumnya. Pada percakapan kali ini, alih kode tidak lagi hanya dilakukan oleh responden A, tetapi juga dilakukan oleh responden B. Alih kode terlihat hampir pada keseluruhan dialog. Alih kode pertama terlihat pada dialog pertama hingga keenam antara responden B dan C. Pada percakapan sebelumnya, responden B selalu menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana berkomunikasi; sedangkan pada percakapan kali ini ia beralih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Hal itu terjadi karena ia merasa terpancing atau terpengaruh dengan pihak ketiga, yakni responden C yang menggunakan bahasa Indonesia.
Fenomena alih kode kembali dilakukan oleh responden B. Ketika ia berbicara dengan responden C, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Akan tetapi, pada dialog selanjutnya ketika responden A berbicara, responden B menanggapinya menggunakan bahasa Jawa. Hal itu terjadi karena responden B ingin mendekatkan jarak antara ia dan responden A. Ia ingin pembicaraan yang terjadi terasa akrab, salah satunya menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa lawan tutur. Pada dialog kedelapan, responden B kembali melakukan alih kode. Hal itu terjadi karena ia sedang mengutip pembicaraan orang lain yang menggunakan bahasa Indonesia. Pada dialog selanjutnya, responden B beralih kode lagi menjadi bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan responden A yang notabene selalu menggunakan bahasa Jawa.
Alih kode yang terjadi pada dialog ketiga responden di atas dilakukan secara tidak sadar dan bersifat sementara. Alih kode yang terjadi pun termasuk ke dalam alih kode intern, yakni perpindahan dari bahasa daerah menjadi bahasa Indonesia maupun sebaliknya.
BAB V
SIMPULAN
Istilah alih kode dan campur kode sudah menjadi bagian dari kegiatan berbahasa manusia. Kedua istilah itu tidak dapat dilepaskan dari benak penutur, karena setiap kita melakukan kegiatan berbahasa, kedua istilah ini tidak jarang muncul dalam tuturan kita. Istilah ini sering kali ditemukan dalam percakapan di rumah dengan orang tua, keluarga, saudara, bahkan dalam kegiatan rapat pun sering terjadi. Seperti yang terjadi pada dua orang perempuan bernama Robiatussaadiah, S.Pd.SD dan Ari; serta seorang laki-laki bernama Nurul Iman, S.Pd.SD. Ketiga responden ini yang kemudian disebut responden A, B, dan C telah melakukan percakapan dalam rumah responden B pada hari Jumat, 21 Desember 2012 pukul 16:40 WIB dengan durasi waktu 3 menit 25 detik.
Ketiga responden di atas memiliki B1 berupa bahasa Jawa, sedangkan B2 berupa bahasa Indonesia. Dalam percakapan mereka ditemukan fenomena alih kode dan campur kode, baik dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia maupun sebaliknya. Fenomena campur kode sering terjadi pada responden C, sedangkan alih kode sering dilakukan oleh responden A terutama lebih banyak lagi dilakukan oleh responden B. Campur kode sering terjadi pada ketiga responden karena terpengaruh lawan bicara yang menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa. Sedangkan alih kode terjadi pada ketiga responden karena ingin mengutip pembicaraan orang lain; terpengaruh lawan bicara yang beralih ke bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa; ingin mendekatkan jarak; dan mereka merasa di rumah sendiri, bukan di tempat umum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar