Rabu, 20 Agustus 2014

EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM CERPEN PAYUDARA NAI NAI KARYA DJENAR MAESA AYU (KRITIK SASTRA FEMINIS)

PENDAHULUAN Kajian mengenai perempuan adalah hal yang sampai saat ini masih menjadi topik yang sangat menarik. Perempuan seperti dalam pandangan kaum feminis, menginginkan kesetaraan gender atau derajat yang sama dengan kaum laki-laki yang selalu dianggap superior. Perempuan yang menduduki posisi inferior dengan segala stereotipe negatif yang melekat pada dirinya merasakan bahwa ia tidak memiliki esensi dalam kehidupan. Beda halnya dengan laki-laki yang selalu dianggap mayoritas dengan kekuatan dan eksistensinya yang sangat diakui dari seluruh lapisan masyarakat. Pembahasan mengenai kajian feminis atau biasa disebut feminisme ini dapat mencakup berbagai hal. Salah satunya adalah dalam karya sastra. Dalam karya sastra, terutama prosa, sering sekali kita temukan cerita-cerita rekaan yang menjadikan perempuan sebagai objek utama pencitraan. Bahkan tak jarang dalam kisah-kisahnya perempuan dijadikan sebagai super hero. Tidak sedikit pula yang menyatakan secara gamblang peran perempuan sebagai kaum marginal. Kalau demikian, maka tokoh-tokoh tersebut dianggap sebagai kontrafeminis, yakni tokoh-tokoh yang tetap terkurung dalam budaya patriarkat dengan menyerahkan diri seutuhnya pada ikatan laki-laki tanpa adanya keinginan untuk keluar dari kurungan tersebut, sedangkan tokoh-tokoh yang berperan sebagai super hero dalam pengertian yang luas, dianggap sebagai tokoh emansipatoris atau profeminis. Tokoh-tokoh di atas, baik tokoh profeminis maupun tokoh kontrafeminis dapat dikaji dengan kritik sastra feminis. Menurut Yoder (1987) (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 5) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengalaman perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Dengan demikian, kritik sastra feminis dapat membawa pembaca, khususnya pembaca perempuan untuk lebih mengenal sosok perempuan itu sendiri. Di Indonesia banyak sekali pengarang, baik perempuan maupun laki-laki yang tertarik untuk mengangkat tema “perempuan” dalam karya-karyanya. Salah satu pengarang perempuan Indonesia yang menjadikan feminisme sebagai fondasi karya-karyanya adalah Djenar Maesa Ayu. Dalam karya-karyanya, Nai-panggilan akrabnya-selalu mencuatkan sisi-sisi lain dari perempuan. Ia mengisahkan perempuan dari berbagai sisi, dari berbagai lapisan, dengan sisi-sisi negatif maupun positifnya. Salah satu karya Nai yang menurut penulis sangat menarik adalah cerpen Payudara Nai Nai yang termuat dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu). Cerpen ini mengisahkan perempuan dari segi positif dan negatifnya serta bagaimana masyarakat di sekitarnya menyikapi sosok perempuan yang ada dalam tubuh Nai itu sendiri. Melihat pemaparan di atas, terlihat bahwa cerpen Payudara Nai Nai memang lebih tepat untuk dikaji dengan kritik sastra feminis. Hal itu terjadi karena pada cerpen ini dikatakan secara keras mengenai kontroversi seorang perempuan dalam diri Nai melalui sudut pandang masyarakat yang sudah sangat mengakar dengan budaya patriarkat. PEMBAHASAN 1. Kajian Teori a. Hakikat Cerita Pendek Menurut Sudjiman (1990: 15), cerita pendek adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan; cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada suatu ketika. Meskipun persyaratan ini tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir atau batin terlibat dalam satu situasi. Menurut Zaidan, dkk., (2004: 50), cerita pendek adalah kisahan yang memberi kesan tunggal yang dominan tentang satu tokoh dalam satu latar dan satu situasi dramatik. Cerpen harus memperlihatkan kepaduan sebagai patokan dasarnya. Menurut Setiawan, dkk, (2008: 60), cerpen adalah singkatan dari cerita pendek, yakni kisahan yang biasanya selesai dibaca dalam waktu singkat. Cerita pendek, sebenarnya bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi atau berdasarkan kenyataan kejadian yang sebenarnya, melainkan murni ciptaan yang direka oleh pengarangnya. Melihat dari pemaparan para ahli di atas mengenai hakikat cerita pendek atau biasa disingkat cerpen, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah kisahan pendek yang memberikan kesan tunggal dan dibaca dalam waktu singkat, menceritakan tentang satu latar dan konflik. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang ada dalam novel. b. Sejarah Kritik Sastra Feminis Dalam buku Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar hasil buah tangan Soenarjati Djajanegara (2003:15) dijelaskan mengenai asal mula dan perkembangan kritik sastra feminis. Penjelasan tersebut terangkum sebagai berikut. Gerakan feminisme pada tahun 1960-an berdampak luas, bukan hanya kaum wanita, tetapi meluas ke seluruh masyarakat Amerika. Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukkan bahwa sistem sosial masyarakat modern di mana memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Gerakan ini membuat masyarakat sadar kedudukan perempuan yang inferior. Berbagai kalangan memberikan dukungan kuat pada usaha-usaha untuk meningkatkan kedudukan perempuan. Kata (baru) “seksisme” membuka lembaran baru dalam kehidupan wanita, baik yang bertalian dengan keluarga, seks, dan pekerjaan, maupun yang berhubungan dengan pendidikan atau pelatihan. Berkat perjuangan para feminis, wanita Amerika (khususnya) mengalami banyak perbaikan di bidang-bidang kehidupan tersebut. Feminis-feminis terpelajar, terutama yang berkecimpung di perguruan tinggi juga menyadari adanya kebijakan berdasarkan seksisme yang sampai waktu itu masih diberlakukan di berbagai bidang ilmu. Mereka melihat adanya kesejajaran antara keadaan di masyarakat pada umumnya dan di bidang ilmu pada khususnya. Inferioritas perempuan di masyarakat juga tercermin sedikit perhatian kepada perempuan atau sama sekali mengabaikan, wanita sebagai bahan kajian. Para feminis terpelajar percaya bahwa dunia ilmu pun didominasi kaum laki-laki dan menindas kaum perempuan. Feminisme (tokohnya disebut feminis) adalah sebuah perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak-hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki. Dalam ilmu sejarah, misalnya, peranan dan kegiatan wanita nyaris tidak pernah disinggung. Para feminis merasa bahwa ahli-ahli sejarah hanya memusatkan perhatian mereka pada perang, politik, atau hukum, sedangkan sejarah wanita sama sekali tidak disinggung. Baru dalam dua dasawarsa terakhir ini saja para ahli sejarah mulai menulis tentang lingkungan keluarga dan masyarakat terbatas yang memang sejak dulu merupakan lingkungan khas perempuan. Di samping itu, para feminis sangat menyesalkan penulisan sejarah yang biasanya hanya menyebut-nyebut keberhasilan orang-orang yang memiliki kekuasaan, yakni laki-laki kulit putih, yang mampu menggerakkan sejarah Amerika serta membuat perubahan-perubahan penting. Selama penulisan sejarah seperti ini dipertahankan, tentu saja perempuan tidak akan pernah mendapat tempat dalam buku-buku sejarah. Karena tidak pernah diberi kekuasaan di bidang politik, ekonomi dan militer, perempuan tidak mampu menghasilkan sesuatu yang dianggap penting bagi negara serta kurang pantas dicatat dalam sejarah. Karena itu, feminis terpelajar berusaha membebaskan wanita dari berbagai penindasan dan pembatasan di dunia ilmu. Salah satu upaya mereka adalah menjadikan wanita sebagai bahan studi untuk bahan penelitian. Di akhir abad 20, gerakan feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan. Maka muncullah gender studies atau women studies atau kajian wanita di berbagai program studi. Kajian ini bertujuan menambah pengetahuan kita tentang pengalaman, kepentingan dan kehidupan wanita. c. Kritik Sastra Feminis Yoder (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2010: 5) menyebut bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengalaman perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membawa perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Secara leksikal, feminisme merupakan paham gerakkan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki (KBBI, 2005: 241). Feminisme juga dapat diartikan sebagai teori tentang persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki di bidang politik, ekonomi, sosial, publik, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007: 64, Ratna, 2004: 191 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 47). Konsep feminisme bermaksud memperjuangkan kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, konsep feminisme juga memperjuangkan kebebasan perempuan dari kekuasaan laki-laki agar perempuan tidak lagi tertindas dan tereksploitasi oleh laki-laki. Feminisme menginginkan agar perempuan berkuasa atas dirinya sendiri sehingga perempuan tidak kehilangan eksistensinya dalam kehidupan. Dari uraian tersebut dapat dimengerti bahwa feminisme adalah paham gerakan perempuan yang memperjuangkan persamaan hak dan status kaum perempuan agar setara dengan laki-laki di bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan publik sehingga perempuan berkuasa atas dirinya sendiri dan tidak ada lagi bentuk penindasan serta eksploitasi terhadap perempuan oleh dominasi laki-laki. Walaupun pendapat feminis bersifat pluralistik, namun satu hal yang menyatukan mereka adalah keyakinan mereka bahwa masyarakat dan tatanan hukum bersifat patriarki. Aturan hukum yang dikatakan netral dan objektif sering kali hanya merupakan kedok terhadap pertimbangan politis dan sosial yang dikemudikan oleh idiologi pembuat keputusan, dan idiologi tersebut tidak untuk kepentingan wanita. Sifat patriarki dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Kesederajatan gender tidak akan dapat tercapai dalam struktur institusional ideologis yang saat ini berlaku. Feminis menitikberatkan perhatian pada analisis peranan hukum terhadap bertahannya hegemoni patriarki. Segala analisis dan teori yang kemudian dikemukakan oleh feminis diharapkan dapat secara nyata diberlakukan, karena segala upaya feminis bukan hanya untuk menghiasi lembaran sejarah perkembangan manusia, namun lebih kepada upaya manusia untuk bertahan hidup. Timbulnya gerakan feminis merupakan gambaran bahwa ketentuan yang abstrak tidak dapat menyelesaikan ketidaksetaraan. Lahirnya feminisme berasal dari kesadaran, asumsi, dan kepedulian bahwa kaum perempuan sering diperlakukan tidak adil oleh kaum laki-laki. Kaum perempuan seperti kehilangan eksistensi karena kehidupannya didominasi oleh kaum laki-laki. Oleh karena itu, gerakan feminisme selalu berkaitan dengan upaya mengakhiri dominasi laki-laki. Hal ini seperti diungkapkan oleh Andrea Dworkin (dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 47) bahwa pekerjaan utama kaum feminis adalah mengakhiri dominasi laki-laki dengan jalan merobohkan bangunan budaya seperti seni, gereja, hukum, keluarga inti yang berdasarkan kekuasaan kepala keluarga, negara, seluruh pencitraan institusi, tradisi, dan kebiasaan yang menempatkan perempuan sebagai korban tidak berharga yang tidak disadari. Penghilangan dominasi laki-laki tersebut pada akhirnya digunakan untuk mengangkat derajat perempuan agar setara dengan derajat laki-laki. Konsep awal dari gerakan feminisme adalah emansipasi. Emansipasi berbeda dengan feminisme. Apabila dilihat dari keluasan maknanya, makna feminisme lebih luas daripada emansipasi. Emansipasi merupakan suatu konsep gerakan yang menyokong feminisme. Seseorang yang mengaku emansipatoris belum tentu menjadi seorang feminis. Akan tetapi, seorang feminis sudah pasti seorang emansipatoris. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sofia dan Sugihastuti (dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 48) yang menjelaskan bahwa emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa memperjuangkan hak serta kepentingan mereka yang tertindas dan mengalami ketidakadilan. Dalam feminisme, konsep gerakannya sudah memperjuangkan hak dan kepentingan perempuan yang tertindas dan mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan yang dialami perempuan berawal dari adanya prasangka gender yang merugikan kaum perempuan, dan sebaliknya menguntungkan kaum laki-laki. Hal itu disebabkan oleh pemahaman salah masyarakat terhadap pemaknaan gender. Pemahaman salah tersebut ialah anggapan bahwa makna gender sama dengan jenis kelamin (seks). Kaum feminis berpendapat bahwa jenis kelamin merupakan kategori biologis, sedangkan gender (mengacu pada pendapat Sally Mc Chonnell dan Ginet) merupakan makna kultural yang dikait-kaitkan dengan identitas kelamin (Ruthven 1985 : 8 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 49). Dari uraian Ruthven tersebut, dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Jenis kelamin (seks) adalah penyifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yaitu, laki-laki dan perempuan. Paham feminisme berpengaruh di hampir segala bidang kehidupan manusia. Di dalam ilmu sastra, pengaruh feminisme hadir melalui kritik sastra feminis terdiri atas berbagai praktis. Setiap praktik didasarkan pada suatu gagasan tertentu. Praktik kritik sastra feminis yang ada antara lain sosiofeminis, semiofeminis, psikofeminis, feminis marxis, sosio-semio-psiko-marxis feminis, feminis lesbian, dan feminis kulit hitam (Ruthven 1985 : 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 47 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 54). Praktik-praktik kritik sastra feminis tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. Kritik sastra sosiofeminis (Ruthven, 1985: 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 54) mengulas peran perempuan masyarakat dengan pijakan teks-teks sastra. Sosiofeminis berusaha menganalisis bagaimana gambaran perempuan dalam karya sastra (citra perempuan). Sementara itu, kritik sastra semiofeminis (Ruthven, 1985: 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 54) meneliti praktik signifikansi yang mengodifikasikan dan mengklasifikasikan perempuan berdasarkan pada semiotika atau ilmu tanda-tanda sehingga perempuan dapat terbebani peran-peran tertentu dalam masyarakat. Berbeda lagi dengan kritik sastra psikofeminis, kritik sastra ini berpijak pada teori Freud dan Lacan yang menyatakan bahwa seksualitas perempuan selalu ditentukan oleh norma-norma dan kategori-kategori lawan jenisnya. Teks-teks sastra merupakan artikulasi hasrat bawah sadar perempuan karena mereka sebenarnya tertekan (Ruthven 1985 : 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 54). Praktik selanjutnya adalah kritik sastra feminis marxis. Feminis marxis berkonsentrasi pada masalah opresi (penindasan) dan bukan represi (tekanan). Mereka cenderung mengolah teks-teks sastra dengan dasar teori marxis. Cabang ini memasukkan isu ke perempuanan pada wacana marxisme sehingga perempuan yang mempunyai posisi yang setara dengan kelas pekerja (Ruthven 1985:19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 55). Sosio-semio-psiko-marxis-feminis merupakan satu bentuk praktik gabungan dari praktik-praktik yang sudah disebutkan (Ruthven, 1985: 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 55). Praktik ini mencampurkan empat bidang tersebut sehingga masing-masing hanya memperoleh bagian pembahasan sedikit. Oleh karena itu, praktik ini kurang begitu mendalam hasil analisisnya. Praktik kritik sastra selanjutnya ialah kritik sastra feminis lesbian. Kritik sastra feminis lesbian adalah kritik yang pada dasarnya menggali karya yang bercirikan dan menyuarakan lesbianisme. Selain itu, kritik sastra feminis lesbian juga mengembangkan definisi tentang makna lesbian, kemudian pengkritik menentukan apakah definisi tersebut memengaruhi pengaruh pengarang atau teks karya sastranya (Soenarjati-Djajanegara, 2000: 35 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 55). Kritik ini populer dengan teori penulisan yang berasumsi bahwa ada keterkaitan antara seksualitas dan tekstualitas (Ruthven, 1985 :19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 55). Praktik kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis sastra kulit hitam. Para feminis kulit hitam menganggap perempuan kulit hitam tertindas dua atau tiga kali lebih berat dibandingkan dengan perempuan lain. Pertama, perempuan kulit hitam tertindas oleh masyarakat yang didominasi kulit putih. Kedua, perempuan kulit hitam tertindas oleh sistem patriarkat. Ketiga, perempuan kulit hitam tertindas oleh sistem kapitalisme karena menempatkan mereka sebagai kelas pekerja (Ruthven, 1985: 19 dalam Sugihastuti dan Wibowo, 2010: 55). d. Identitas Buku Judul Buku : Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) Penulis : Djenar Maesa Ayu Penerbit : PT Gramedia Utama Tahun terbit : 2004 Halaman : ix + 121 halaman ISBN : 979-22-0670-1 1. Sinopsis Nai Nai dalam bahasa Mandarin berarti payudara. Nai Nai adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana tidak memiliki ibu, hanya ada ayah yang bekerja sebagai pembersih pendingin ruangan waktu siang dan penjual buku stensilan di waktu malam. Nai Nai memiliki payudara yang kecil sehingga ia disebut sebagai Nai Nai kecil oleh teman-temannya, terutama Yongki yang menyebutnya pertama kali. Sejak saat itu, Nai Nai selalu merasa minder dengan payudaranya yang tidak membesar. Hingga akhirnya ketika ia membaca buku-buku yang dijual ayahnya mengenai payudara, bagaimana cara bercinta dan hal-hal seksual lainnya. Ia menjadi sering sekali berimajinasi memiliki payudara yang membesar serta tak kalah ketinggalan pula dengan imajinasinya perihal cara berhubungan seksual dengan laki-laki. Laki-laki yang diimajinasikan sebagai pasangannya adalah Yongki. Suatu ketika, ia tidak sengaja turut dalam pembicaraan teman-temannya mengenai hal-hal seksual yang dilakukan mereka. Nai Nai mengatakan bahwa ia melakukan hubungan seksual seperti yang ada dalam imajinasinya. Pada akhirnya teman-temannya percaya dengan cerita itu dan beranggapan bahwa Nai Nai adalah seorang “pemain” yang hebat. Banyak teman-teman laki-lakinya yang mengincar Nai Nai untuk dapat berhubungan seksual dengannya. Akan tetapi, Nai menolaknya. Ia hanya menginginkan Yongki untuk menjadi pasangannya dalam dunia nyata. Hal itu membuat Nai semakin giat membaca buku yang dijual ayahnya untuk menarik perhatian Yongki. Semuanya sia-sia karena Yongki malah semakin sinis kepada Nai. 2. Selayang Pandang mengenai Cerpen Payudara Nai-Nai dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-Main dengan Kelaminmu Buku ini terdiri atas 121 halaman dan memuat 13 cerpen. Buku Djenar ke empat ini benar-benar cerita pendek, tentang cinta yang juga terkadang sangat singkat, tetapi tetap penuh makna, dan bahkan tak jarang ditutup dengan sebuah kejutan. Bahasanya sangat lugas, blak-blakan, apa adanya, dan terkesan vulgar. Di awal maupun akhir cerita, Djenar menuliskan kata yang membuyarkan persepsi yang terlanjur terbentuk sejak awal cerita. Satu hal yang juga menarik di buku ini, terletak pada sampul belakangnya. Terdapat kalimat yang ditulis dalam sebuah kotak berisi "PERINGATAN PENERBIT: buku ini hanya untuk pembaca dewasa dan terlarang untuk pembaca yang merasa mengerti tentang cinta". Jadi cerpen ini tidak layak untuk dibaca oleh anak-anak di bawah umur. Secara pribadi, kami sangat menyukai buku ini. Sebuah refleksi tentang kehidupan dengan bahasa yang apa adanya, tidak dibuat-buat, dan tetap mempertahankan image seorang Djenar. 3. Unsur Intrinsik dalam Cerpen Payudara Nai Nai a. Tema Dalam cerpen Payudara Nai Nai sarat akan problematika kehidupan sosial yang dialami oleh tokoh perempuan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa tokoh utama bernama Nai selalu dihina oleh teman-temannya karena kekurangan yang ia miliki, yakni ukuran payudaranya yang kecil. Masyarakat di sekitar Nai memandang keberadaan perempuan dilihat dari segi fisiknya, yakni dari parameter besar-kecilnya payudara. Sebagian besar tokoh perempuan dalam cerpen ini pun lebih dominan menduduki posisi objek dibandingkan subjek. Hal itu terjadi karena mereka memandang laki-laki sebagai subjek yang selalu mengendalikan mereka. Laki-laki dianggap memiliki hak istimewa untuk dapat menyentuh perempuan sampai ke daerah sensitif perempuan, yakni payudara. Melihat permasalahan yang diangkat dalam cerpen ini berkaitan dengan dunia perempuan, maka tema yang diangkat adalah parameter masyarakat mengenai eksistensi perempuan dilihat dari ukuran payudara dan perempuan hanya dijadikan sebagai objek laki-laki yang berperan sebagai pemuas nafsu. b. Tokoh dan Penokohan Dalam cerpen Payudara Nai Nai terdapat beberapa tokoh, yakni Nai Nai, ayah Nai Nai, Yongki, dan teman-teman sekolah Nai. Sesuai dengan judulnya, cerita berpusat pada tokoh Nai sebagai tokoh utama dalam cerpen tersebut. Sedangkan, tokoh lainnya seperti ayah Nai Nai, Yongki, dan teman-teman lingkungan sekitarnya hanya sebagai tokoh pendukung. Keterlibatan para tokoh-tokoh tersebut dapat membangun sebuah cerita sehingga memiliki rasa yang cukup tinggi. 1) Nai Nai rendah diri (minder), selalu menjaga perasaan ayahnya, memiliki daya imajinasi yang kuat. Di bawah ini terdapat beberapa kutipan yang menyatakan bahwa Nai adalah perempuan yang rendah diri dan selalu menjaga perasaan ayahnya. “Selain hari ulang tahun, pertengahan tahun juga bertepatan dengan hari kenaikkan kelas. Nai selalu gelisah ketika diharuskan untuk saling memperkenalkan diri dengan teman kelasnya yang baru karena ia tak bisa mengelak dari tatapan spontan semua orang yang memandang ke arah payudaranya setiap kali ia menyebut nama”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 109) “...Nai tahu, mereka mendapat keringanan karena ayahnya kebetulan juga bertugas sebagai pembersih pendingin ruangan di sekolah. Tapi Nai sebenarnya sangat kesulitan menghadapi lingkungannya yang mayoritas adalah kalangan menengah ke atas. Yang kebanyakan ayah-ayah mereka adalah seorang direktur bukan penjual buku stensilan. Yang datang ke sekolah dengan mobil pribadi bukan berjalan kaki. Tapi Nai tak pernah berani mengutarakan masalahnya kepada Ayah. Ia tidak sampai hati menyakiti perasaan ayahnya walaupun di satu sisi ia tak dapat menepis rasa rendah dirinya”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 110) Selain itu, terdapat sebuah kutipan yang menandakan sifat berimajinasi Nai yang sangat tinggi yakni sebagai berikut. “Awalnya, Nai membenci buku-buku itu. Tapi semakin lama ia membaca, semakin ia menyukai dan menghayatinya. Ketika membaca, Nai bukan lagi perempuan berkaus kutang. Ketika Nai membaca, ia adalah perempuan berkutang yang digarap di atas meja direktur... Sedangkan laki-laki di dalam imajinasinya adalah Yongki”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 111) Ia merasa dihargai oleh teman-temannya jika ia dapat mempengaruhi teman-temannya dengan cerita imajinasinya, tanpa disadari oleh teman-temannya. Hal ini diutarakan dalam kutipan berikut. “Nai memberanikan diri untuk mengemukakan apa yang sering dibacanya dari buku-buku stensilan sebagai pengalaman pribadinya. Serentak teman-temannya terdiam. Semuanya mendengarkan. Semuanya memberi perhatin. Tidak pernah Nai merasa diperhatikan seperti itu... Nai berubah menjadi apa dan siapa yang sedang diceritakannya. Ia hanyut dalam imajinasi dan realitas”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 113-114) 2) Ayah Nai Nai Pekerja Keras, Tegar Sikap pekerja keras ayah Nai terlihat dalam kutipan berikut. “Ayahnya bekerja sebagai pembersih pendingin ruangan waktu siang dan penjual buku stensilan di daerah Pecenongan waktu malam”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 109) “Ayah Nai akan menambahkan alasan yang membuatnya bersikeras menyekolahkan si anak semata wayang di sebuah sekolah swasta ternama”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 109) Ketika ia memberikan alasan tentang kepergian istrinya kepada Nai, ia menceritakannya dengan tegar. Hal itu terbukti dalam kutipan berikut. “Nai hanya tahu ibunya meninggal karena sakit parah tanpa pernah tahu persis apa jenis penyakitnya. Mereka tidak punya cukup uang untuk membayar perawatan dokter dan obat-obatan, begitu yang sering dikatakan Ayah Nai dengan pandangan menerawang seolah mengutuk hidup dan dirinya sendiri”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 108) 3) Yongki Usil, Jail, Tidak menghargai orang lain “Sejak saat itu, Yongki tidak pernah berhenti meledekinya. Dan julukan Nai Nai Kecil makin hari makin merajalela. Tidak hanya sampai disitu. Yongki selalu mencari apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk memeranginya, tidak terkecuali, ayahnya yang hanya sebagai pembersih pendingin ruangan”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 113) c. Latar Latar atau biasa juga disebut setting dalam karya sastra prosa (cerpen dan novel) tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk tempat dan waktu cerita. Latar dalam karya sastra prosa ini juga dijadikan sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang dengan ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2004: 227—233), latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, latar sosial. 1) Latar tempat Latar tempat pada cerpen ini lebih sering dihabiskan di sekolah dan di rumah dengan menceritakan perbincangan teman-teman Nai, penghinaan yang diterima Nai, proses membaca buku-buku stensilan yang dilakukan oleh Nai, dan sebagainya. a. Latar Sekolah Pada kutipan halaman 107 paragraf 2 “Namun menginjak tahun keenam di sekolah dasar, adalah satu masa di mana Nai mensyukuri keberadaan payudaranya”. Pada kutipan halaman 108 paragraf 3 “Ritual ganti baju bersama sebelum dan sesudah pelajaran olahraga yang klimaksnya adalah saling memamerkan model kutang terbaru”. b. Latar Rumah Pada kutipan halaman 110 paragraf 7 “Ketika ayah bekerja di siang hari, Nai sering membaca buku-buku stensilan yang sudah ayahnya persiapkan untuk dijual malam harinya”. 2) Latar waktu Latar waktu pada cerpen ini terjadi hampir setiap waktu penuh dalam sehari, yakni pada waktu pagi hari, siang hari, dan malam hari. 3) Latar suasana Latar suasana yang ada dalam novel ini beragam. Berikut beberapa penggalan kisah yang menjelaskan suasana dalam novel. a. Suasana Gelisah Pada kutipan halaman 109 paragraf 1 “Nai selalu gelisah ketika diharuskan untuk saling memperkenalkan diri dengan teman kelasnya yang baru karena ia tak bisa mengelak dari tatapan spontan semua orang yang memandang ke arah payudaranya setiap kali ia menyebutkan nama”. b. Suasana Sedih Pada kutipan halaman 112 paragraf 1 “Nai pun masih ingat reaksi teman-teman lain ketika mendengar ucapan Yongki. Ada yang membuang muka. Ada yang menahan tawa. Tapi tidak sedikit juga yang tertawa terbahak-bahak. Nai juga masih bisa merasakan hangat yang menjalar di mukanya, dan leleh air mata di pipinya. Juga masih bisa merasakan panas di telapak tangannya ketika menampar mulut Yongki”. d. Alur Alur yang digunakan dalam cerpen Payudara Nai Nai ini adalah alur maju karena memiliki klimaks di akhir cerita. Selain itu rangkaian peristiwa yang dialami Nai terjadi secara teratur. Kutipan yang menjelaskan bahwa cerpen ini memiliki alur maju adalah sebagai berikut. a. Awal “Nai Nai lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya bersikeras menyekolahkan si anak semata wayang di sebuah sekolah swasta ternama, dengan harapan ia bisa hidup lebih layak ketimbang apa yang mereka lalui sekarang”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 109) b. Peruwitan “Awalnya, Nai membenci buku-buku itu. Tapi semakin lama ia membaca, semakin ia menyukai dan mengkhayatinya”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 111) c. Klimaks “Hingga suatu hari ketika teman-temannya sedang saling berbagi cerita tentang pengalaman pertama kencan, Nai memberanikan diri untuk mengemukakan apa yang sering dibacanya dari buku-buku stensilan sebagai pengalaman pribadinya”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 113) d. Antiklimaks “Itulah ketika Nai Nai menginjak tahun ketiga di sekolah menengah pertama. Semuanya berubah hanya dengan bercerita, dengan mengutip buku-buku stensilan. Semua laki-laki yang sudah mendengar perihal pengalaman seksual Nai berlomba-lomba mendapatkan Nai”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 114) e. Akhir “Semakin Yongki tidak juga memberi perhatian pada ceritanya, semakin Nai antusias membaca buku-buku stensilan. Ia harus datang dengan cerita-cerita baru. Ia harus datang dengan cerita-cerita yang mencengangkan. Berharap Yongki terkesima. e. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen payudara Nai Nai ini adalah sudut pandang persona orang ke tiga mahatahu karena dalam penceritaan cerpen, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Narator menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ‘ia’ tersebut. Narator mengetahui segalanya ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita. Berpindah-pindah dari tokoh yang satu ke yang lain. (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007: 258) terlihat pada kutipan berikut: “Nai Nai tidak tahu menahu. Yang ia tahu dalam bahasa moyangnya, bahasa Mandarin, Nai Nai artinya payudara. Yang ia tahu, payudaranya tumbuh sesuai bertambahnya usia dan pertumbuhan tubuhnya. Yang ia tahu, teman-teman prianya sering menambahkan kata ‘kecil’ di belakang namanya. Yang ia tahu, teman-teman prianya menyukai payudara teman-teman perempuannya, tapi tidak payudara Nai Nai”. (Jangan main-main dengan kelaminmu, 2004: 107) f. Gaya Bahasa Pada cerpen Payudara Nai Nai, penulis menggunakan bahasa yang sangat lugas, blak-blakan, apa adanya, dan terkesan vulgar. Dalam cerpen ini pun terdapat beberapa penulisan yang diulang-ulang. Oleh karena itu, cerpen ini lebih dominan menggunakan majas atau gaya bahasa paralelisme, yaitu gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Hal itu terlihat pada beberapa kutipan di bawah ini. “Yang ia tahu, payudaranya tidak tumbuh sesuai bertambahnya usia dan pertumbuhan tubuhnya. Yang ia tahu, teman-teman prianya sering menambahkan kata “kecil” di belakang namanya”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 107) “Ada yang membuang muka. Ada yang menahan tawa. Tapi tidak sedikit juga yang tertawa terbahak-bahak”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 112) “Semuanya mendengarkan. Semuanya memberi perhatian”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 113) “Ia harus datang dengan cerita-cerita baru. Ia harus datang dengan cerita-cerita yang mencengangkan”. (Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), 2004: 115) g. Amanat Amanat hendaknya disampaikan pengarang melalui karya sastranya di mana amanat biasanya hadir secara tersirat dan ditentukan atau dicari sendiri oleh para penikmat sastra tersebut. Setiap penikmat sastra dapat berbeda-beda dalam menafsirkan amanat. Amanat biasanya memberikan manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Amanat yang dapat kami ambil dalam cerpen Payudara Nai Nai yaitu keikhlasan dalam menerima apa pun kekurangan dari diri kita. Tuhan Maha Adil. Setiap orang pasti memiliki kekurangan, baik fisik maupun non-fisik. Tidak ada manusia yang sempurna. Namun dibalik kelemahan kita, Tuhan selalu menyelipkan kelebihan yang mungkin tidak didapat oleh orang lain. Kita sebagai umat-Nya harus selalu bersyukur dengan apapun pemberian-Nya. 4. Eksistensi Perempuan dari Perspektif Nai dan Masyarakat Nai adalah sosok gadis yang berasal dari keluarga sangat sederhana dan hidup berdua hanya dengan ayahnya. Dalam hal ini, Nai memiliki dua sisi dalam mengemukakan pandangannya mengenai eksistensi perempuan. Walaupun ia lebih condong ke sisi yang kedua. Di satu sisi, Nai menjadi tokoh yang profeminis dan di sisi lain ia terombang-ambing dengan kedudukannya yang kontrafeminis. Mengapa demikian? Dalam kisah ini diceritakan bahwa Nai adalah gadis yang “terisolasi” dari dunianya karena kekurangan yang ia miliki sebagai seorang perempuan. Ia merasa bahwa dirinya bukanlah perempuan seutuhnya karena satu faktor yang bersifat fatal bagi keseluruhan perempuan pada umumnya. Nai memiliki ukuran payudara yang kecil. Hal itu merupakan aib bagi sebagian besar perempuan yang senantiasa mengidam-idamkan payudara yang besar sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum Adam. Sebagian besar perempuan di dunia ini memandang bahwa selain lekuk tubuh, dada adalah bagian tubuh fatal bagi eksistensi seorang perempuan. Oleh karena itu, banyak sekali kita temukan dokter-dokter yang khusus untuk melakukan pembesaran buah dada, baik melalui cara implan, operasi, suntik, dan cara lainnya. Tidak jarang efek yang diakibatkan dari hal-hal tersebut sangat berbahaya dan merugikan perempuan. Begitu juga halnya dengan Nai. Nai yang berasal dari kalangan bawah merasakan aib itu. Rasa malu yang menyerang dirinya menjadikan dirinya selalu minder dalam pergaulannya di sekolah. Hal itu bertambah parah ketika teman-temannya, terutama Yongki, selalu mengejek ukuran dadanya yang kecil. Ia tidak dapat melakukan pembesaran buah dada yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Akhirnya ia hanya dapat memendam kekecewaan atas kekurangannya itu. Fenomena yang dialami Nai sangatlah menakjubkan. Bagaimana dalam cerpen Payudara Nai Nai ini eksistensi perempuan hanya dilihat dari teks “payudara”. Eksistensi perempuan tidak hanya diungkapkan dari segi Nai sebagai tokoh utama saja, tetapi juga dari segi tokoh laki-laki dan masyarakat pada umumnya. Dalam cerpen itu menggambarkan secara gamblang pandangan Nai sebagai seorang perempuan memandang eksistensi perempuan dari sebuah ukuran buah dada serta bagaimana pandangan masyarakat mengenai eksistensi perempuan yang terwakili dengan ukuran buah dada. Melihat kejadian itu, sosok perempuan memiliki beban yang sangat berat dari segala sisi. Eksistensinya untuk bisa diakui dalam kehidupan ini selalu mendapatkan desakan dari berbagai pihak, terutama laki-laki. Bahkan dalam cerpen ini pun desakan itu tidak hanya berasal dari laki-laki saja, tetapi juga dari perempuan itu sendiri. “Menginjak sekolah menengah pertama, adalah satu kejanggalan jika perempuan masih memakai kaus kutang bukan kutang. Kutang menjadi simbol kebanggaan perempuan, satu nilai lebih ketimbang hanya menggunakan miniset, apalagi hanya kaus kutang”. (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, 2004: 108) Kutipan di atas menggambarkan secara jelas bahwa pandangan masyarakat mengenai sosok perempuan itu adalah dengan adanya buah dada yang membesar. Hal itu akan lebih “indah” lagi apabila buah dada itu dilengkapi dengan kutang yang indah dan bukan dengan selembar kaus kutang. Pandangan masyarakat yang minim ini menjadikan kedudukan perempuan menjadi terombang-ambing. Karena tidak semua perempuan memiliki ukuran buah dada yang ideal. Banyak sekali perempuan yang memang terlahir memiliki buah dada yang berukuran kecil. Hal itu dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya karena faktor genetik atau faktor bawaan. Perempuan yang memiliki kekurangan itu dapat mengganggu psikologisnya. Seperti yang dialami oleh Nai. Ia merasa malu dan minder karena olokkan dari teman-temannya. “Nai selalu gelisah ketika diharuskan untuk saling memperkenalkan diri dengan teman kelasnya yang baru karena ia tak bisa mengelak dari tatapan spontan semua orang yang memandang ke arah payudaranya setiap kali ia menyebutkan nama. Belum lagi jika tatapan mereka berakhir dengan senyum tipis atau kernyit di dahi. Nai Nai malu akan payudaranya, sebesar ia malu akan kehidupannya”. (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, 2004: 109) Kutipan di atas memperkuat akibat yang dialami Nai karena tekanan yang ia terima dari orang-orang di sekitarnya. Ia menjadi sering gelisah, tidak percaya diri, malu, minder, tidak memiliki keberanian, dan hal-hal negatif lainnya yang tidak sepantasnya ia terima hanya karena ukuran payudaranya yang kecil. Dari kutipan-kutipan di atas juga terlihat bahwa asumsi mengenai buah dada yang mendukung eksistensi perempuan membentuk paradigma dalam diri Nai mengenai perempuan itu sendiri. Ia merasa bahwa dirinya belum seutuhnya menjadi perempuan karena payudaranya kecil. Ia merasakan dirinya rendah dan belum ada apa-apanya dibandingkan teman-teman perempuannya yang lain yang senantiasa memamerkan jenis kutang terbaru dengan warna dan bentuk yang menarik. Dari sinilah pandangan masyarakat membentuk pikiran Nai bahwa dirinya harus mencari suatu cara yang mampu menutupi kekurangannya itu. Nai yang senang membaca buku-buku stensilan yang akan ayahnya jual mengetahui mengenai bagaimana sosok perempuan berbuah dada besar hingga ke trik-trik “bercinta” dengan laki-laki. Ia menjadi sering sekali berimajinasi. Fantasi ini merupakan representasi realita yang tak sempat terwujud dalam kehidupannya. “Ketika Ayah bekerja di siang hari, Nai sering membaca buku-buku stensilan yang sudah ayahnya persiapkan untuk dijual malam harinya. Disantapnya berbagai cerita pengalaman seksual seperti yang kerap didengar dari mulut teman-temannya, berikut ilustrasi yang melengkapinya. Hampir semua perempuan dalam gambar-gambar yang menghiasi buku-buku itu berpayudara seperti teman-teman perempuannya. Dan hampir semua cerita yang ditulis dalam buku-buku itu menggambarkan betapa lelaki begitu berhasrat kepada payudara besar, tapi tidak payudara rata”. (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, 2004: 111) Fenomena yang terjadi dalam kutipan itu sekali lagi memperkuat ketimpangan dalam masyarakat yang memiliki wawasan rendah mengenai perempuan. Perempuan hanya dilihat dari segi fisik, bukan kemampuan. Eksistensi perempuan hanya sebagai pemuas birahi dan teman di waktu malam, bukan sebagai makhluk hidup yang memiliki keinginan, kemampuan, dan kekuatan seperti laki-laki. Begitu sempitnya pandangan masyarakat sehingga “menjepit” kaum perempuan itu sendiri. Ironisnya, masyarakat dari kalangan perempuan pun sebagian besar beranggapan seperti itu. Dalam kutipan di atas pun digambarkan bahwa kaum perempuan sangat bangga ketika eksistensinya di dunia ini telah “membaur” dengan laki-laki. Begitu giatnya mereka “membaur” hingga mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka sebenarnyalah yang akan menghancurkan diri mereka sendiri. “Pembauran” yang mereka lakukan dapat mengakibatkan dampak kehamilan yang tentu saja menjurus kepada menguatnya sistem patriarkat dalam diri mereka. Mereka akan dituntut untuk mengurus anak, baik ketika dalam kandungan, ketika melahirkan sampai kaum perempuan menghirup udara yang menembus dinding hitam. Kematian. Nai dalam cerpen ini merasakan bahwa dirinya patut untuk dihargai, dianggap. Dengan bekal pengalaman fantasi yang ia dapatkan dari buku-buku bacaannya, ia memulai kebahagiaannya dengan kebohongan besar. “Hingga suatu hari ketika teman-temannya sedang saling berbagi cerita tentang pengalaman pertama kencan, Nai memberanikan diri untuk mengemukakan apa yang sering dibacanya dari buku-buku stensilan sebagai pengalaman pribadinya. Serentak teman-temannya terdiam. Semuanya mendengarkan. Semuanya memberi perhatian. Tidak pernah Nai merasa diperhatikan seperti itu. . . Ia menemukan kesamaan rasa ketika membaca dengan ketika menceritakannya, sekaligus menyadari bahwa dengan bercerita ia lebih dominan ketimbang membaca. . . Ia bukan hanya perempuan berkaus kutang yang menjelma sebagai perempuan berkutang. Ia bukan hanya perempuan berpayudara kecil yang menjelma sebagai perempuan berpayudara besar. Ia bukan hanya perempuan idaman yang bisa menggarap beberapa laki-laki bersamaan. Tetapi ia adalah perempuan berkaus kutang, berpayudara kecil, yang bisa menggarap laki-laki”. (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, 2004: 114) Begitulah cara Nai untuk keluar dari kurungan dogma mengenai eksistensi perempuan. Bukan melalui unjuk diri yang bersifat positif, tetapi condong ke arah yang negatif dengan kebohongan. Melihat hal itu, maka terlihatlah bahwa Nai merasa bangga bahwa dirinya adalah seorang perempuan seutuhnya ketika dia mengatakan bahwa dirinya mampu “membaur” dengan para laki-laki dengan cara yang dahsyat. Bahkan setelah itu banyak sekali teman-teman laki-lakinya yang berlomba-lomba untuk dapat melakukan kegiatan “pembauran” dengan Nai. Dalam cerpen ini, perspektif para tokoh dominan ke arah satu pandangan, yakni baik Nai dan masyarakat (perempuan dan laki-laki) hanya memandang eksistensi perempuan dilihat dari fisiknya saja terutama ukuran payudara yang dimilikinya. Hal lainnya tidak penting. Karena tokoh-tokoh dalam cerpen ini memandang perempuan sebagai alat seksual, sebagai pemuas nafsu birahi, bukan sebagai sosok manusia yang butuh pengakuan dan penghargaan. Hal itu terlihat dari sisi Nai, ketika dia mengutarakan rasa malunya karena ukuran payudaranya yang kecil, ejekan teman-temannya, hingga kebohongan besar yang dilakukan Nai untuk menutupi kekurangannya. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini cenderung kontrafeminis, karena dalam kisahnya mereka lebih senang menanamkan asumsi-asumsi yang pada akhirnya hanya akan memperkuat sistem patriarkat itu sendiri. Walaupun tokoh Nai memiliki sisi profeminis juga karena ia senang membaca sehingga ia memperoleh pengetahuan (bukan dari segi pengetahuan yang didapatkan), tetapi ia lebih dominan ke arah kontrafeminis karena pandangannya yang mendukung mengakarnya sistem patriarkat. PENUTUP Sebuah kritik memiliki keunggulan tersendiri yaitu dapat membangun sebuah karya sastra menjadi lebih baik lagi. Dalam cerpen Payudara Nai-Nai karya Djenar ini menggunakan kritik sastra feminisme di mana kritik sastra feminisme merupakan kritik yang mengacu pada kedudukan wanita. Konsep feminisme bermaksud memperjuangkan kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, konsep feminisme juga memperjuangkan kebebasan perempuan dari kekuasaan laki-laki agar perempuan tidak lagi tertindas dan tereksploitasi oleh laki-laki. Feminisme menginginkan agar perempuan berkuasa atas dirinya sendiri sehingga perempuan tidak kehilangan eksistensinya dalam kehidupan. Dari uraian tersebut dapat di mengerti bahwa feminisme adalah paham gerakan perempuan yang memperjuangkan persamaan hak dan status kaum perempuan agar setara dengan laki-laki di bidang politik, ekonomi, sosial, dan publik sehingga perempuan berkuasa atas dirinya sendiri dan tidak ada lagi bentuk penindasan serta eksploitasi terhadap perempuan oleh dominasi laki-laki. Terlihat dalam cerpen karya Djenar ini di mana tokoh Nai-Nai yang seorang perempuan selalu dikucilkan oeh teman-temannya karena bagi mereka ada bagian tubuh Nai-Nai yang tidak sempurna yaitu bagian payudaranya. Hal ini mengakibatkan sosok Nai-Nai ini tidak memiliki kepercayaan diri. Hal itu terjadi karena paradigma kebanyakan orang, khususnya perempuan, yang beranggapan bahwa memiliki tubuh yang sempurna berarti ia merasa dirinya dihargai dan diakui oleh masyarakat, terutama oleh kaum laki-laki itu sendiri. 16 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar