Rabu, 20 Agustus 2014

Esai Kartini

KARTINI DALAM BALUTAN PATRIARKI (KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM PERNIKAHAN) A. Kartini dalam Balutan Adat-Istiadat Ketika mendengar wacana “Kartini”, kita telah diajak untuk kembali ke masa lalu, di mana pertama kalinya seorang pejuang bernama Kartini muncul ke permukaan dengan gagah beraninya mengajarkan pendidikan kepada masyarakat Indonesia yang dilarang untuk mengenyam pendidikan. Pada masa Kartini yang sarat akan adat-istiadat Jawa dengan kentalnya sistem patriarki, menjadikan sosok perempuan bak babu yang lebih terikat dibandingkan babu sebenarnya. Perempuan harus siap menikah di usia muda, dimulai dari usia 12 tahun dengan lelaki yang sama sekali tak dikenal dan harus siap untuk dimadu. Perempuan juga dilarang mengenyam bangku pendidikan. Kartini yang merupakan anak Bupati dan sempat mencicipi bangku pendidikan, merasakan ketidakadilan tersebut dan merasa harus memberantas penderitaan yang dialami oleh tokoh perempuan. Naas, perjuangan Kartini sekali lagi mengalami benturan lebih keras dibandingkan sebelumnya. Ia harus berhadapan dengan lawan yang lebih berat, yakni ayahnya sendiri. Ia pun tak bisa berkutik melawan adat-istiadat dan mengikuti perintah ayahnya untuk menikah. Pada masa Kartini, adat-istiadat sangat dipegang kuat oleh masyarakatnya. Bahkan Kartini yang seorang pejuang pun tak bisa berkutik dan harus mematuhi perintah ayahnya. Saat itu, perintah sang ayah adalah perintah yang paling tinggi yang harus diikuti oleh perempuan. Perjuangan Kartini yang berusaha memajukan perempuan pun harus rela bertabrakan dengan adat-istiadat yang berlaku. Pada akhirnya, Kartini harus rela menikah dengan laki-laki yang dijodohkan dengannya pada usia 24 tahun. Ia meninggal di usia 25 tahun ketika melahirkan anak pertamanya. Jika melihat sosok Kartini, kita akan dihadapkan pada sosok perempuan yang perkasa dan berani menggapai cita-cita. Walaupun pada akhirnya ia harus mati muda di usianya yang baru menginjak angka 25. Akan tetapi, kematiannya tidak sia-sia karena dirinya telah memberikan kontribusi yang besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangannya memajukan harkat perempuan menjadikannya salah satu tokoh emansipasi bangsa Indonesia. B. Emansipasi dan Feminisme dalam Kartini Melihat tokoh Kartini, maka kita dapat menyaksikan bagaimana seorang perempuan berusaha untuk melakukan penyetaraan gender dan menuntut persamaan hak antara perempuan dengan laki-laki, salah satunya melalui pendidikan untuk kaum perempuan. Adanya wacana “persamaan hak” antara perempuan dengan laki-laki, maka kita mengenal adanya istilah emansipasi dan feminisme. Kita harus mampu membedakan antara kedua istilah ini. Emansipasi, dari kata emancipatio (Latin), berarti persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan (Ratna, 2007: 219). Tetapi dalam kenyataannya selalu dikaitkan dengan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Dalam kehidupan sehari-hari istilah yang paling dikenal adalah emansipasi. Feminisme dalam hal ini lebih luas dibandingkan dengan emansipasi. Emansipasi cenderung digunakan sebagai istilah yang berarti pembebasan dari perbudakan yang sesungguhnya dan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, emansipasi tidak mutlak sebagai persamaan hak perempuan jika kata emansipasi dilekatkan pada kata perempuan emansipasi cenderung lebih menekankan pada partisipasi perempuan tanpa mempersoalkan hak serta ketidakadilan jender (Kridalaksana dalam Sofia, 2009: 13). Secara etimologis, feminis berasal dari kata femme (woman), berarti wanita (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2006: 184). Jadi, tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Feminisme sudah mempersoalkan hak serta kepentingan perempuan yang selama ini dinilai tidak adil. Perempuan dalam pandangan feminisme mempunyai aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam gerakan untuk menuntut haknya sebagai manusia secara penuh (Kridalaksana dalam Sofia, 2009: 13). Melihat pernyataan di atas, maka perjuangan Kartini selama ini adalah suatu usaha yang sangat keras untuk menyetarakan perempuan dengan laki-laki. Emansipasi yang dilakukannya akan menjadi salah satu dorongan munculnya feminisme dalam benak perempuan Indonesia. Hal itu terjadi karena perempuan selalu dimarginalisasikan dan diperlakukan tidak adil oleh laki-laki, tidak hanya dalam kehidupan sosial, namun mencakup seluruh bidang kehidupan. C. Kartini dalam Citra Masyarakat Indonesia Apabila kita kembali ke masa kini, di mana Kartini telah melebur ke dalam jiwa kaum perempuan. Kita akan melihat sebuah ketimpangan yang menjadikannya sebuah ironi. Citra perempuan yang diagungkan dan diperjuangkan oleh Kartini ternyata hanya sebuah kibasan sejarah yang semakin lama semakin menghilang terkikis waktu. Pendidikan memang telah dinikmati oleh kaum perempuan, tetapi perempuan tidak sepenuhnya hidup sebagai perempuan. Perempuan tetaplah perempuan yang bergerak di dapur, mengurus suami, mengurus anak dan mengurus rumah. Perempuan tetaplah hidup sesuai kodratnya yang menyandang status babu dalam kehidupan. Perempuan tetap berada jauh di bawah laki-laki dan tidak dapat menikmati sepenuhnya nafas Kartini yang menginginkan kebebasan perempuan seutuhnya. Laki-laki tetap menduduki perannya sebagai superior yang memegang kuasa penuh terhadap kaum perempuan. Terdapat beberapa perempuan yang hidup di pelosok negeri bahkan di ibu kota yang masih saja terikat oleh sistem Siti Nurbaya, yakni sebuah istilah yang diambil dari sebuah kisah sastra klasik karangan Marah Rusli yang menampilkan perjodohan kawin paksa oleh kedua orang tua. Selain itu, perempuan juga masih mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh manusia bernama laki-laki. Apabila kita melihat realita dalam kehidupan, perempuan jarang sekali diberikan kepercayaan untuk menduduki bangku kekuasaan. Dapat kita saksikan hanya segelintir perempuan yang dapat menduduki bangku pemerintahan. Hanya seorang perempuan bernama Megawati Soekarno Putri yang dapat meraih jabatan presiden. Rendahnya kepercayaan terhadap perempuan memegang suatu kendali tidak hanya terlihat pada pemerintahan, tetapi juga terihat pada bidang sastra. Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak, apalagi pada masa sebelum perang (Rosidi, 1965: 61). Hal yang sejalan disampaikan oleh Rusmini dalam pengantar novelnya berjudul Tarian Bumi (2004: vii) bahwa dalam sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia terdapat fakta yang sulit dibantah, yakni jumlah penulis perempuan yang sangat sedikit jika dibanding penulis laki-laki. Melihat pernyataan tersebut, dapat kita saksikan betapa langkanya sebuah karya hasil buah tangan pengarang perempuan yang sejak beberapa puluh tahun silam hingga saat ini tidak mampu mengalahkan jumlah pengarang laki-laki. Citra perempuan dalam masyarakat pun tidak hanya berkutat dengan satu bidang saja, tetapi melingkupi seluruh bidang kehidupan. Salah satunya terlihat dalam konteks pernikahan. D. Kartini dalam Balutan Patriarki (Kehidupan Pernikahan) Kartini merupakan salah satu lambang “perempuan” yang memang sejak dahulu sudah merasakan ketidakadilan karena permasalahan gender. Seperti yang dialami oleh Kartini, budaya patriarki memang sudah mengakar kuat dalam darah masyarakat Indonesia. Patriarki dijadikan sebagai alat untuk menduduki kekuasaan paling tinggi dalam ranah kehidupan manusia. Dalam masyarakat patriarkhat, anak laki-laki merupakan harapan, maka secara langsung akan mengkondisikan superioritas laki-laki. Kodrat perempuan dalam mengandung dan melahirkan, secara kultural diharuskan untuk memeliharanya, yang pada gilirannya akan mengurangi sifat agresif, sebaliknya menumbuhkan sifat pasif, lemah lembut, dan sebagainya (Ratna, 2006: 187). Salah satu representasi kuatnya budaya patriarki dalam kehidupan ini terlihat dalam pernikahan. Perempuan ditakdirkan untuk melahirkan bibit-bibit baru yang akan menciptakan kehidupan-kehidupan baru di dunia ini. Untuk itu, perempuan harus melakukan suatu hal yang sakral dengan melakukan pernikahan. Dengan disahkannya perempuan menjadi isteri laki-laki, maka pada detik itulah aktivitas perbudakan menjadi kehidupan baru bagi perempuan. Sejak saat itu, perempuan telah sepenuhnya terikat oleh sistem patriarki dan tidak dapat berkutik dalam genggaman laki-laki. Lembaga rumah tangga, sebagai konstruksi patriarki, ternyata memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi laki-laki untuk mendominasi perempuan. Melalui lembaga patriarki inilah mengalir berbagai model dominasi dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan benar-benar hanya berfungsi untuk orang lain, sebagai heterocentric yang dipertentangkan dengan egocentric, berpusat pada diri sendiri (Ratna, 2007: 230). Melihat pernyataan di atas, semakin memperkuat kedudukan pernikahan dalam paradigma feminisme bahwa pernikahan merupakan pengikat kebebasan perempuan dalam mengekspresikan dirinya sendiri. Dengan adanya pernikahan, maka perempuan mengakui laki-laki sebagai kaum mayoritas dan perempuan sebagai kaum minoritas. Hal itu memperkuat dogma dalam masyarakat yang menyatakan bahwa perempuan tidak akan bisa menyetarakan kedudukannya dengan laki-laki. Salah satu contoh kuatnya budaya patriarki dalam kehidupan pernikahan dapat terlihat dari beberapa kasus di bawah ini. a. Adat-Istiadat Jawa dan Hukum Agama Islam Kasus pertama dialami oleh seorang perempuan bernama Dewi. Dewi merupakan seorang janda berusia 42 tahun yang sudah memiliki tiga anak perempuan. Ia menikah dengan seorang duda berusia 50 tahun bernama Didi. Mereka berasal dari kota Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya Jawa, terutama Yogyakarta, sangat mematuhi adat-istiadat yang seiring waktu semakin kuat tertanam dalam diri masyarakatnya. Hal itulah yang diterapkan oleh Dewi. Selama hidup dengan Didi, Dewi tak mendapatkan kebebasan dalam melakukan aktivitasnya. Dimulai dari bangun tidur hingga terlelap, ia harus mengikuti satu perintah, yakni dari suaminya. Ia tidak akan makan sebelum Didi makan. Bahkan ketika perut sudah tak mampu mengeluarkan suara penderitaan, ia tetap menunggu Didi. Selain itu, ia tidak boleh keluar rumah sebelum mendapatkan izin dari suaminya. Walaupun saat itu keadaan sedang sangat genting, ia tetap menunggu izin dari suaminya. Hal lain yang lebih ekstrem adalah ia tidak akan memulai ibadah kalau suaminya belum melakukannya. Budaya patriarki yang terdapat dalam kehidupan rumah tangga Dewi sangatlah kuat. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada perlawanan sedikit pun dari Dewi. Ia melakukan semuanya atas dasar kepatuhan dan disertai dengan kesadaran penuh tanpa paksaan. Perbuatan yang dilakukan oleh Dewi diakui sebagai suatu prinsip yang harus dijalaninya. Hal itu karena penerapan adat-istiadat yang sudah ditanamkan dalam diri Dewi oleh orang tua, keluarga dan lingkungannya di Yogyakarta. Melihat fenomena itu, terlihat sekali bahwa budaya patriarki sangat kuat kedudukannya dalam pernikahan. Kuatnya budaya patriarki didukung oleh ajaran agama Islam yang dianut oleh Dewi dan Didi. Dalam Islam, semua yang dilakukan oleh Dewi adalah suatu hal yang benar dan terpuji. Bahkan Dewi termasuk ke dalam jajaran isteri yang salehah. Akan tetapi, semua itu menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat lemah. Perempuan mengalami ketidakadilan. Kaum laki-laki dapat bebas berkeliaran, sedangkan perempuan hanya berkutat dengan aktivitas di dalam rumah. Perempuan menjadi sangat lemah karena terikat oleh satu aturan. Akibat sistem patriarki, perempuan tidak memiliki ruang gerak sendiri untuk menuangkan gagasan-gagasannya dalam berekspresi. b. Pelecehan Seksual dan Perceraian Selain fenomena pernikahan Dewi, terdapat satu kasus yang sangat berbeda dengan Dewi. Kasus ini dialami oleh seorang perempuan bernama Lala. Gadis asal Bogor ini telah mengalami pelecehan seksual ketika usianya baru menginjak angka 17 tahun. Pelecehan seksual itu dilakukan oleh pacarnya sendiri yang sudah berpacaran selama 4 tahun dengan Lala. Saat itu mereka akan menghadapi UN, sedangkan Lala sedang mengandung janin dari pacarnya yang bernama Doni. Setelah lulus sekolah, Lala mengakui pelecehan seksual yang dialaminya kepada keluarganya. Mereka pun akhirnya dinikahkan. Walaupun tak semudah yang diperkirakan, karena sebelum pengakuan itu Lala harus mengalami tekanan batin yang sangat besar. Perutnya yang semakin membesar dan sekolah yang sebentar lagi akan selesai membuatnya selalu was-was menyaksikan perubahan pada tubuhnya. Setelah Lala mengaku pun, pihak keluarga tak serta-merta menerima semua kenyataan itu. Psikologi Lala semakin menurun ketika desakan dari berbagai pihak mengancam jiwanya yang sudah rapuh. Akan tetapi, akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk menikahkan mereka. Selama pernikahan mereka, bukan kebahagiaan yang mereka dapatkan, tetapi pertengkaran yang tak jarang berujung kericuhan. Sejak pernikahan itu terjadi, Lala baru mengetahui keculasan yang tertanam dalam diri Doni. Selama mereka menikah, Doni memperlakukan Lala dengan tidak adil. Ia bahkan berselingkuh di belakang Lala sejak awal pernikahan mereka. Setelah dua tahun pernikahan mereka, akhirnya Lala pun mengetahui perselingkuhan Doni dan mengajukan perceraian. Sejak saat itu, Lala resmi terbebas dari laki-laki yang telah merenggut masa-masa “emas”-nya dan meninggalkan trauma psikis bagi dirinya. Lala kini mendapatkan hak asuh anaknya yang sudah berusia 7 tahun. Lala membesarkan anaknya tanpa bantuan dari Doni maupun keluarganya. Bahkan Doni tidak pernah menampakkan wajahnya lagi setelah perceraian itu terjadi. Berbeda dengan kasus yang dialami oleh Dewi, dalam hal ini Lala telah mengalami penderitaan yang berkepanjangan. Bahkan penderitaan itu telah mengambil masa-masa remajanya yang indah. Penderitaan yang dialami Lala dimulai ketika sebuah janin sudah tertanam dalam perutnya hingga janin tersebut lahir. Hingga saat ini pun, Lala masih bertempur dengan kehidupan yang semakin lama semakin menggerogotinya. Ia harus mencari pekerjaan untuk menafkahi anaknya dan ia harus hidup di tengah-tengah gunjingan orang-orang di sekitarnya. Akan tetapi, dari semua penderitaan yang dialaminya, ia telah melakukan perlawanan yang tepat dengan mengajukan perceraian kepada suaminya. Tokoh-tokoh di atas adalah salah satu kasus dari sekian banyaknya kasus yang terjadi dalam masyarakat ini dengan menjadikan perempuan sebagai korban. Banyak sekali perempuan yang belum dapat menikmati nafas Kartini dalam kehidupannya. Banyak sekali perempuan yang masih hidup dalam bayang-bayang adat-istiadat, dan budaya patriarki yang entah sampai kapan akan berhenti mengikat kebebasan perempuan untuk berekspresi. Diperlukan suatu usaha yang ekstra untuk dapat mewujudkan perjuangan Kartini serta para pejuang perempuan lainnya selama ini. Itu semua harus dimulai dari diri kita sendiri. Kita sebagai perempuan harus mampu menempatkan diri di mana pun kita berada dan selalu bersikap gesit, kreatif, dan berani menyumbangkan ide-ide cemerlang yang dimiliki. Kaum perempuan harus mulai melepaskan sehelai demi sehelai “pakaian adat-istiadat” yang sudah dipakai berabad-abad. Sudah saatnya perempuan menggunakan pakaian yang lebih segar. Pakaian yang memiliki ruang kebebasan untuk menampung ratusan, ribuan, jutaan, bahkan miliyaran ide yang siap untuk diledakkan. Pakaian baru itu dibuat atas dasar “perempuan dan laki-laki” yang duduk dalam satu wacana keadilan. *) Identitas tokoh dalam penelitian ini bukanlah identitas sebenarnya. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga nama baik mereka yang telah menjadi produk patriarki dalam masyarakat Indonesia. Daftar Rujukan Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosidi, Ajip. 1965. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta. Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: IndonesiaTera. Sofia, Adib. 2009. Aplikasi Kritik Sastra Feminis: Perempuan dalam Karya-karya Kuntowijoyo.

2 komentar:

  1. Misi mbaaak .....

    Kalo nulis artikel,.mbokyaa pake paragraf doog .... Biar enak baca nyaaa ... Mwosoq tulisan nye sepanjang itu dibuat satu paragraf ajjaa ...??? Tuliasan yg panjang sebaik nya dipecah2 menjadi beberapa paragraf shg enak dilihat dan dibaca ....

    BalasHapus